SUMMUM JUS SUMMA INJURIA; SUMMA LEX SUMMA CRUX (keadilan yang setinggi-tingginya dapat berarti ketidakadilan tertinggi).
"Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” - Ps 28 A UUD RI 1945.
Terorisme itu ngeri, dan jelas terorisme adalah musuh bersama. Tidak akan pernah dibenarkan suatu tindakan pembunuhan masif terencana yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur dibiarkan dilakukan di negara sebesar Indonesia, terlebih dengan alasan teologis ditengah beragamnya etnis, suku, budaya dan agama di Indonesia. Akan tetapi, jika kita mau melihat ini dari sudut pandang yang lebih luas, maka metode pemberantasan terorisme di Indonesia memiliki pola yang sama bengisnya dengan terorisme itu sendiri.
Sudah menjadi pengetahuan dasar dalam Ilmu Hukum bahwasanya terorisme merupakan bagian dari hukum pidana khusus yang mana pengaturannya secara spesifik diatur diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). UU Terorisme juga nyatanya terbukti jadi pengaturan yang ampuh untuk mengatasi dan mengantisipasi tindakan terorisme di Indonesia, apalagi karena sifat khususnya menyebabkan UU ini dapat berlaku surut atau dapat mengatur peristiwa yang terjadi bahkan sebelum UU ini dilahirkan (yang jelas berbeda dengan asas legalitas pidana umum yang hanya menghukum orang setelah aturan ada dan berlaku sebelumnya).
Mari kita anggap itu sebagai apa yang seharusnya terjadi (das solen). Akan tetapi pada faktanya di lapangan (das sein), penghukuman atas terorisme banyak dilakukan tanpa pengadilan. Per Maret 2016, sebanyak 120 terduga terorisme dibunuh tanpa barang bukti yang jelas dan tanpa prosedur hukum yang konkret. Yap, TERDUGA. Siapa saja bisa jadi terduga, termasuk saya dan mungkin anda. Siapapun bisa saja dianggap melawan polisi setelah hanya diduga sebagai teroris dan lantas dibunuh tanpa pengadilan. Mungkin saja giliran anda adalah besok, atau beberapa menit setelah anda membaca tulisan ini.
Masih segar dalam ingatan, Siyono yang ditangkap densus 88, kembali kerumah tanpa nyawa dalam proses interogasi. Sebagaimana penelitian dan wawancara yang dilakukan seorang rekan saya dengan keluarga korban, barang bukti yang dibawa oleh densus adalah buku-buku, serta majalah anak islami. Padahal Siyono dikenal sebagai pribadi yang baik oleh tetangga dan keluarga serta jauh dari kesan ekstrimis sebagaimana yang diduga oleh pihak berwenang.
Ini konyol sekali. saking tidak adanya bukti, densus sampai menyita majalah anak-anak. "Yang penting berbau islami dan siapa tau nanti ketemu unsur terornya", begitu mungkin kira2 pendapat densus. Mau bagaimana juga, nyawa Siyono tidak bisa dikembalikan, dengan atau tanpa salah.
Lain lagi hal yang terjadi beberapa hari lalu. Abu Sovi dan Abu Faiz dibunuh densus atas dugaan terorisme dan dianggap melawan aparat. Barang bukti yang pada akhirnya dijadikan dasar tindakan adalah 10 senjata tajam seperti golok dan pisau kecil, dua buah buku berjudul Misteri Akhir Zaman dan Perjalanan Ruh, delapan buah kitab, dan satu surat amaliyah menjadi "pengantin" yang belum dapat dibuktikan siapa yang membuat.
Mari kita buat logika sederhana. Dirumah manapun, pasti dapat kita temui senjata tajam entah dalam konteks melawan atau hanya sekedar untuk perkakas dapur, dan sesungguhnya, bagaimana mungkin densus yang dilatih sedemikian ketat untuk menangkap teroris bisa menganggap 4 orang yang (apabila benar) berusaha menyerang mereka dengan golok sebagai sebuah ancaman dan harus dibunuh? Bagaimana mungkin pula orang yang dalam keadaan terdesak, dan ketakuan lantaran nyawanya berada diujung tanduk sempat-sempatnya menulis surat wasiat yang berisi ancaman dan amaliyah sebagai "pengantin"?
Terlepas dari konspirasi siapa pendana densus yang sesungguhnya, akan tetapi secara umum, hal ini jelas bertentangan baik secara prosedural, maupun teknis dalam aturan pidana terorisme di Indonesia. Karena apakah ini dapat dijadikan indikator kuatnya Indonesia dari serangan luar? Tidak! Sebaliknya ini menunjukkan betapa sebenarnya bangsa ini tidak sekuat yang kita kira, serta begitu sering melakukan panic move, dan bahkan pembunuhan serta penghukuman tanpa pengadilan. Jadi siapa yang lebih teroris diantara keduanya?
Tapi ya gitu, sebagaimana apa yang ada diawal tulisan ini, bagaimanapun bentuknya, terorisme harus dibumi hanguskan dari Indonesia. Terorisme harus hilang dan kedamaian harus tercipta di negeri yang terkenal akan kemajemukannya sejak jaman Cheng Ho tiba dan menulis tentang Indonesia beberapa abad silam. Indonesia yang terdiri dari 17.508 pulau, 789 suku, 546 bahasa, 6 agama dan puluhan kepercayaan lokal, serta satu falsafah dan cita-cita bangsa dalam Pancasila, sudah jelas jauh diatas apabila berbicara soal toleransi yang selama ini digadang-gadang menjadi penyebab terorisme.