Lihat ke Halaman Asli

Indonesia; Negara Antikorupsi, Katanya...

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia. Adalah sebuah negara yang dengan segala prasyaratnya sebenarnya mampu untuk menyusul bangsa lain menjadi negara superpower dan adidaya. Negara yang besar, tentu diharuskan memiliki prasyarat khusus untuk menjadi yang tertinggi diantara Negara lain. Sumber daya manusia yang baik dan besar, system peraturan perundang-undangan yang mengatur dengan baik, memiliki ideologi yang nyata untuk dikejar dan lain sebagainya adalah salah satu contohnya. Indonesia sebenarnya memiliki segala prasyarat tersebut, ditambah dengan berbagai keunggulan lain seperti persatuan antar bangsa yang begitu harmonis, belum lagi ditambah sumber daya alam yang begitu mumpuni.

Bukan hal yang muluk-muluk jika penulis mengatakan bahwa Indonesia layak disebut sebagai negara superpower-wannabe. Sebagai negara hukum, Indonesia tentu mempunyai sistem peraturan perundang-undangan yang begitu sistematis dengan segala sifatnya. Indonesia juga memiliki jumlah warga negara yang terbesar keempat di dunia dengan lebih kurang 245 juta manusia, belum lagi ideologi pancasila yang sudah nyata kita ketahui bersama, dengan segala mimpi dan cita-cita bangsa yang ada di dalamnya. Selain itu Indonesia juga bisa menyatukan 17.504 pulau, 1340 suku bangsa dengan 546 bahasa dan 6 agama di dalamnya (sumber Wikipedia.com). Data di atas semakin sempurna dengan pemberian Tuhan yang menganugerahkan sumber daya alam begitu luar biasa bagi bangsa ini, mulai dari yang terkubur dalam tanah sampai yang berada di udara, dan mulai dari logam, padat, cair maupun gas. Dengan data diatas penulis rasa, mimpi untuk menjadi Negara yang besar hanya tinggal melakukan eksekusi saja.

Sebagai warga Negara Indonesia, kita semua pasti memiliki mimpi yang sama yakni hidup dengan damai, aman, dan tentram di tanah tempat kita berpijak saat ini yang suatu hari nanti, kita akan kembali menyatu dengannya. Sebagai satu kesatuan dalam balutan merah dan putih atas nama bangsa Indonesia, sudah selayaknya kita menyadari potensi yang ada dengan optimisme yang tinggi lalu bergerak untuk meraihnya, karena menurut penulis, optimisme adalah keniscayaan.

Sebagai negara hukum, Indonesia tentu memiliki satuan peraturan yang mengatur begitu beragam dan sistematis sesuai dengan tingkatnya masing-masing. Hukum yang sebagai mana substansi aslinya mengatur dengan tegas dan memaksa, justru kehilangan ke substansial-annya dengan arogansi para penegak hukum yang haus kepuasan. Namun sebagai warga negara melakukan penghinaan terhadap penegak hukum maupun pemerintah bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan sekalipun itu termasuk hak, karena hal tersebut malah akan menanam benih kepesimisan dari masing-masing individu terhadap negaranya. Sebenarnya dalam pasal 154 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), juga disebutkan bahwa, “Barangsiapa di muka umum menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia diancam dengan pidana tujuh tahun…..”. Jadi memang tindakan nyatalah yang dapat menyelamatkan bangsa ini dan membawanya kembali terbang tinggi layaknya sang garuda.

Permasalahan mengenai hukum memang menjadi topik yang begitu debate-able. Keadilan memang bersifat relative, tapi sebenarnya setiap perasaan manusia memiliki batasan tersendiri yang bersifat mutlak untuk keadilan, karena pada dasarnya permasalahan hukum muncul ketika batasan keadilan tidak tersentuh. Akhir-akhir ini ada begitu banyak kasus hukum yang timbul sebab ketika keadilan kehilangan substansi aslinya dalam penegakan hukum. Memang kita tak bisa lantas secara mutlak menyalahkan para penegak hukum, karena hal tersebut terjadi karena banyak indikator lain yang diataranya tentu muncul dari pihak teradili.

Memang persoalan hukum di negara ini sudah seperti acara lawak saja. Jika kita bertanya tentang keadilan, tentu kita akan dengan mudah menemukan bukti bahwa berjalannya hukum di Indonesia benar-benar lucu. Hukum di Indonesia saat ini sudah seperti kembali ke masa sebelum masehi saja ketika kasta dalam kehidupan masih berlaku. Mereka yang harusnya dihinakan di balik sangkar besi dengan baju tahanan, justru bisa bebas dan menonton kompetisi tenis internasional di Bali, sedang mereka yang ‘hanya’ mengakuisisi dompet berisi dua buah uang lima ribuan dan sebuah handphone China harus dipukuli sampai setengah tewas dulu bahkan hamper dibakar hidup-hidup, baru warga ‘memberi’ kesempatan kedua dengan melemparnya ke tahanan yang telah menanti ancaman hukuman yang tak beda jauh dengan mereka yang merampas lebih besar.

Mari kita bandingkan hukuman bagi pencuri dengan koruptor. Tercantum dalam pasal 362 KUHP, “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam dengan karena pencurian dengan pidan penjara paling lama lima tahun……”. Hal tersebut tak jauh berbeda dengan mereka yang mengakuisisi secara haram uang negara. Hal ini terdapat dalam pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)”

Semakin menyedihkan saja untuk diungkap tentang bagaimana hukum tegak di Indonesia. Sebagai contoh penulis akan ambil tentang kasus korupsi yang dialami Sudjiono Timan beberapa bulan lalu. Sudjiono dinilai telah merugikan uang negara sebesar Rp 369,4 miliar dan US$ 178,9 juta.  Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha sukses menoreh tinta merah dalam penegakan hukum terhadap koruptor di Indonesia dengan vonis mencengangkan yakni bebas. Bagaimana tidak, selain menghasilkan vonis lawak dalam kasusnya, ternyata juga terdapat berbagai macam kejanggalan yang secara nalar saja sangat sulit diterima. Setelah mengajukan peninjauan kembali (PK) pada putusannya, secara mengejutkan vonis terhadapnya pun berubah menjadi bebas. Lebih tampak sebagai lawak lagi ketika ternyata Sudjiono saat PK-nya diajukan, bukan dalam sel tahanan sementara, tetapi malah sedang plesir keluar negeri. Dagelan ini berada pada puncak punchline nya, ketika ternyata menurut KY ada berkas yang hilang dalam perkara PK yang hilang milik Sudjiono yang merupakan berkas pendapat hukum Djoko Sarwoko (yang dalam kasus ini ditunjuk sebagai ketua majelis PK) yang berisi penolakan pengabulan PK terhadap Sudjiono. Jangan terlebih dahulu tertawa dengan kekonyolan diatas, karena bahkan ternyata tim MA menilai hukum yang dijatuhkan sudah tepat.

"Tim MA menilai tidak terdapat kesalahan yang fundamental dalam penanganan perkara Sudjiono Timan.  Itu secara filosofis majelis PK seharusnya bisa memahami, tapi karena itu masalah teknis, kita tidak bisa jatuhkan hukuman disiplin," ujar Hatta Ali dalam paparan media di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2013).

Bahkan Hatta Ali mengatakan, dari hasil kajian tim tersebut, ditemukan sedikit kesalahan. Kesalahan tersebut, katanya, putusan dibuat usai Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana.

SEMA tersebut mengatur, permohonan MK tidak dapat hanya dihadiri oleh kuasa hukumnya. Permohonan MK hanya dapat diajukan bila dihadiri terpidana atau ahli waris. Menurutnya, meskipun PK didaftarkan pada Januari 2012, sebelum SEMA diterbitkan, yaitu 28 Juni 2012, putusannya dibacakan setelah penerbitannya.

Oleh karena mungkin kita sudah bosan dengan kasus macam tersebut, kali ini kita tinggalkan sejenak perkara lawak tak lucu diatas. Mari sejenak kita membahas hukum dari sisi psikologi. Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi peran psikologi dalam bidang hukum: psikologi in law,  psikologi and law, psikologi of law.

a.  Psikologi in law, merupakan aplikasi praktis psikologi dalam bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan.

b.  Psikologi and law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa.

c.   Psikologi of law, hubungan hukum dan psikologi lebih abstrak,  hukum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat mempengaruhi hukum dan bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat.

Sebenarnya menurut penulis, hakim adalah benteng terakhir dalam integrated justice system di negara manapun. Dalam nama besar dari diri seorang hakim dapat dipersonifikasikan berbagai simbol kearifan. Kode etik kehormatan hakim di Indonesia berisi janji hakim untuk menjalankan profesi luhur (officium nobile) dengan mengacu pada simbol-simbol seperti kartika, cakra, candra, sari, dan tirta. Cakra antara lain melambangkan kesungguhan mencari kebenaran dan keadilan dan berpegang teguh pada kepada keyakinan hati nurani; candra bermakna kebijaksanaan dan kewibawaan. Sari menunjukan keluhuran budi, sementara tirta adalah kejujuran, kemerdekaan, keikhlasan, dan ketabahan.

Falsafah dalam dunia kehakiman tersebut, ditunjang dengan peraturan Undang-undang yang nantinya menempatkan hakim sebagai lembaga yang bersifat mandiri atau terpisah dari kekuasaan lainnya (Montesqieu dalam karya Jimli Asshidiqi, 2002) untuk menjadikan hakim netral dan tak berpihak maupun timpang sebelah sebagai lembaga yudisial.

Hakim sebenarnya berada pada posisi pengemban hukum yang mulia dan cendikia, yang tentunya hal tersebut jelas berarti bukan hanya ditempatkan sebagai abdi yang mutlak taat Undang-undang, tetapi juga abdi kemanusiaan dalam lingkaran kebudayaan dan perubahan sosial yang terjadi di dalam struktur social. (Saks and Kidd, 1986)

Jika kita melihat bagaimana keadaan psikologis dari pihak yang akan atau telah dijatuhi hukuman, pasti terdapat sebuah perasaan bersalah dalam nuraninya. Rasa bersalah yang bercampur dengan tercemarnya nama besar yang telah ia bangun, serta harta yang telah ia kumpulkan itulah yang terkadang membuat para pesakitan rela ‘bermain kotor’. Sebenarnya semua orang yang memiliki kesempatan untuk melakukan hal memalukan demikian, mutlak pasti dia memiliki posisi ataupun jabatan yang sangat strategis sebelumnya. Orang-orang seperti itu sebenarnya adalah orang yang memiliki pencapaian fantastis di masa lalu, karena tak sembarang orang memiliki kesempatan yang sama. Mereka adalah orang yang telah dibesarkan oleh keadaan dan perjuangan di masa lalu, sebuah sisi respectful yang layak dicontoh sampai tiba saatnya ia melakukan hal demikian hina, dan hilanglah sisi panutan dari dalam diri mereka. Maka itu mereka seakan melakukan keburukan domino (vice domino effect).

Seperti apa yang telah saya ungkapkan sebelumnya, keadilan adalah indicator utama dari tegak atau tidaknya hukum di sebuah negara. Keadilan sendiri merupakan ukuran keabsahan suatu tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara (Asih Suroso dkk, 2012). Keadilan yang ada di Indonesia, masih sebatas keadilan legalitas (iustitia legalis), atau baru sebatas berdasar pada obyek tatanan dari masyarakat yang dilindingi dan mengacu pada Undang-undang yang terkait dan mengikat. Padahal menurut buku panduan pendidikan mata pelajaran Sejarah kelas XII IPA semester pertama karya Asih Suroso dan rekan, jelas dinyatakan bahwasanya ada begitu beragam keadilan disamping keadilan yang hanya mengacu pada asas legalitas yang berlaku saja. Seperti contoh keadilan komutatif (iustitia commutative); keadilan distributive (iustitia distributiva); keadilan vindikatif (iustitia vindicativa); keadilan kreatif (iustitia creativa); keadilan protektif (iustitia protectiva); serta keadilan sosial (iustitia sociale) dan lain sebagainya.

Memang, sebanarnya segala peradilan dalam tingkat putusan apapun hasilnya harus dihormati dan tak bisa di ganggu gugat sekalipun dapat mengajukan peninjauan kembali dan banding nantinya. Tapi terkadang keadilan yang substansial seperti ternoda karena tidak dibarengi integritas tinggi dari penegak hukum yang bersangkutan. Sepertinya menumpas mafia semacam ini seperti mission impossible bagi sebuah negara karena seberapapun prosentase kecurangan, tetap saja ada dalam sebuah negara.

Banyak yang mengatakan bahwa rezim Soeharto adalah yang terbaik, tetapi menurut penulis setiap era memiliki tingkat efektifitasnya masing-masing. Tetapi perlu dipahami, sebuah  keberhasilan dalam pemerintahan, tidak bisa semata-mata dinilai dari beberapa sektor ataupun lamanya memerintah, karena begitu banyak indikator untuk menentukan hal tersebut dan semuanya bersifat relatif. Sebagai contoh rezim Soekarno yang membawa Indonesia melakukan first take-off pasca kolonialisme. Rezim Soeharto sanggup membawa Indonesia ke masa emas nya sekalipun begitu banyak permasalahan yang timbul baik yang mencuat kepermukaan, maupun yang terpendam dan terlupakan. 32 tahun memerintah bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, hingga akhirnya kebosanan pun timbul di kalangan masyarakat dan reformasi pun dilakukan. Burhanuddin Jusuf Habibie, seperti yang ia nyatakan sendiri, memimpin disaat pesawat besar bernama Indonesia mengalami turbulensi yang begitu hebat pasca reformasi. Pun dengan Abdurrachman Wahid, presiden yang dipilih secara demokratis pertama kali, Megawati Soekarnoputri, yang juga merupakan presiden wanita pertama, serta Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan presiden yang dipilih langsung oleh rakyat pertama kali.

Pemberantasan korupsi selalu menjadi topic utama, dari setiap era kepemimpinan. Korupsi selalu dianggap sebagai musuh bersama yang harus dilawan dan dimusnahkan. Tetapi fakta yang ada menunjukkan betapa kurang tegasnya penegakan korupsi. Rakyat menuntut hukuman mati adalah pilihan utama bagi mereka yang notabene begitu hedonis tetap dalam keserakahan sekalipun berkecukupan. Namun atas nama HAM, terkadang benturan pun terjadi sehingga sampai dengan hari ini tidak ada eksekusi mati atas nama korupsi. Hukum yang tegak ditandai dengan takutnya orang untuk melanggar. Namun sepertinya hal ini terbantah jika kita menggunakan korupsi sebagai parameter. Hukuman bagi korupsi pun seakan seperti tidak menjerakan tetapi justru memotivasi. Hukuman yang tidak begitu berat, tidak adanya sitaan yang diberlakukan negara, dan mendapat remisi, serta bahkan mendapat fasilitas setara hotel seperti yang terkuak di beberapa narapidana korupsi.

Tetapi sepertinya akhir-akhir ini pemberatan serta penegasan terhadap penegakan korupsi sudah dapat dirasakan. Sebagai contoh kasus proyek hambalang, yang menjerat Nazaruddin, Andi Mallarangeng, atau bahkan kasus yang heboh diberitakan karena pemberatan kasus hukuman Angelina Sondakh, menjadi 12 tahun penjara, dengan denda 32 milyar, dirasa cukup memuaskan. Contoh lain adalah kasus yang sempat menyentuh Dada Rosada yang akhirnya menyeret salah satu terdakwa terlibat kasus BanSos Bandung, Setyabudi Tejocahyono yang dijatuhi 16 tahun penjara.

Berbagai kasus korupsi mutlak bergesekan dengan perihal hukum dan politis. Pada dasarnya hukum yang sehat, tidak boleh sama sekali bersentuhan dengan hal yang berbau politis karena tingkat kebersihan hukum itu sendiri akan ternoda karenanya. Efek domino atas terbaurnya politik dan hukum yang timbul sebab, akan menggiring stigma masyarakat terhadap kelompok politik yang nantinya dapat membangun atau menjatuhkan citra di kalangan masyarakat.

Sebagai sampling utama adalah yang terjadi baru-baru ini mengenai kasus Anas Urbaningrum terkait proyek Hambalang dan kasus lain sebagaimana berita acara penangkapan yang dirilis KPK. Sejatinya kasus Anas sudah mencuat sejak setahun lalu, namun muncul pertanyaan mengapa baru sekarang penangkapan dilakukan. Penulis pun layak menduga ada unsur politis dalam penangkapan ini dan memiliki hubungan erat dengan pemilihan umum. Efeknya pun mulai terasa. Rakyat sepertinya sukses diarahkan perspektifnya terhadap partai Demokrat menjadi negatif, dan itu terbukti denga survey yang dilakukan Indo Barometer yang dimuat di harian Tempo, Jum’at, 10 Januari 2014. Partai Demokrat yang pada dasarnya adalah partai pemenang pemilu 2009 jatuh dan memiliki kecenderungan akan kalah saing dengan partai tengah. Terbukti survey menunjukkan Demokrat kalah saing dengan Gerindra dan bahkan PKB. Entah memang murni penghukuman ataukah ada mode politis di dalamnya.

Hal tersebut semakin terasa benar jika kita melihat bagaimana Anas bersikap dan apa yang ia katakan ketika resmi menggunakan jersey orange ala KPK. Ia yang terkesan ‘penakut’ dan beberapa kali mangkir tiba-tiba menghadiri panggilan KPK sendirian tanpa di damping kuasa hukumnya yang selalu menemaninya. Semakin terasa ada sesuatu lagi ketika hendak meninggalkan gedung KPK, ia menyatakan terimakasih kepada koleganya di Demokrat yang juga menjabat sebagai Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono, dan menyebut penangkapannya merupakan hadiah tahun baru bagi SBY. Pernyataan multi-tafsir yang ia utarakan tentu semakin menunjukkan bahwa sejatinya korupsi merupakan sebuah perbuatan melanggar hukum yang timbul sebab akibat sifat hedonis dan keserakahan yang luar biasa dari para pelaku pemerintahan, yang tentunya bermuara pada politik. Politisasi hukum inilah yang menurut penulis jauh lebih mengerikan ketimbang pelanggaran hukum lain, mengingat kuatnya kendali para terpidana yang biasanya memiliki kekuasaan dan daya pengaruh yang tinggi.

Sebagai negara yang juga bermasalah dengan korupsi, mungkin kita perlu belajar banyak dari negara Asia lain yang memiliki penegakan hukum untuk korupsi dengan sangat luar biasa. Di bawah kepemimpinan Zhu Rong Ji, yang dalam hal ini merupakan Perdana Menteri China, dia berani menyiapkan peti mati untuk dirinya sendiri jika ia dinyatakan bersalah atas dakwaan korupsi. Zhu tidak asal bicara. Beberapa pejabat dengan posisi strategis telah tewas ditangan eksekutor di masa kepemimpinannya. Yang paling beken adalah dihukum matinya Cheng Kejie, pejabat tinggi partai komunis China setelah terbukti terlibat suap sebesar 5 juta dollar. Tanpa ampun, permohonan banding yang diajukan wakil ketua kongres rakyat nasional tersebut ditolak mentah-mentah oleh pengadilan. Bahkan istri Cheng yang turut berperan membantu suaminya dijebloskan ke dalam penjara. Tak hanya itu, ketegasan keputusan Zhu juga terbukti ketika koleganya sendiri yang tersandung kasus suap. Hu Chang-ging, yang kala itu menjabat sebagai wakil Gubernur provinsi Jiangxi kebagian jatah peti mati yang Zhu janjikan. Tercatat sejak 2001 sampai awal 2011 saja, sudah 4000 orang yang akhirnya mendapat jatah peti yang dijanjikan Zhu. Angka itupun validitasnya masih diragukan dan diperkirakan jumlah terdakwa yang dieksekusi jauh melebihi angka tersebut. Dewan Amnesti Internasional, sebenarnya mengutuk cara China memberlakukan hukuman mati tersebut, namun Zhu Rong Ji menyatakan hanya dengan cara inilah ia dapat menyelamatkan China dari kehancuran. Ia pun menyatakan lebih baik China kehilangan beberapa warga negaranya daripada tetap memelihara pemimpin yang tak layak hidup.

Sebenarnya jika kita menganalisa fakta diatas lalu kita berusaha menganalogikannya dengan berusaha mencari usaha apakah hal tersebut juga mampu untuk diberlakukan di Indonesia, maka jawabannya bisa, tapi tak akan mudah. Mengapa? karena secara jenis faham kenegaraan saja kita sudah berbeda. Faham komunis tentu lebih memiliki masyarakat yang sangat getir, takut, dan hormat kepada hukum. Pemimpin pun memiliki kendali yang tentunya lebih tinggi dibandingkan negara demokratis seperti kita, yang memiliki kendali kecil terhadap keputusan kenegaraan, kontrol pers yang begitu ketat, serta ketidakmampuan Presiden dalam memberikan ketentuan baru yang langsung dapat diberlakukan, karena harus melalui berbagai tahap yang tentunya sangat njlimet orang jawa menyebutnya.

Hukum terkait korupsi pun terkadang aneh dan sekali lagi menimbulkan lawak dikalangan masyarakat karena begitu ringannya masa hukuman bagi terdakwa, itupun masih mendapat potongan masa tahanan oleh pemerintah. Bagaimana tidak, ICW (Indonesian Corruption Watch) menyatakan terdapat 756 kasus korupsi selama tiga tahun belakangan yang memiliki keganjilan karena hanya menghasilkan hukuman ringan bagi para terdakwa. Hukuman ringan yang dimaksud ICW adalah hukuman yang memiliki masa tahanan antara dua sampai lima tahun penjara. Tentu ini bukan prestasi baik bagi track record penanganan hukum di Indonesia terkait korupsi. Siapa yang salah? Tentu tak ada yang mau dipersalahkan, dan masyarakat hanya bisa saling menyalahkan.

Selain itu, korupsi sebenarnya sudah begitu mendarah daging dan masyarakat seperti sudah familiar bahkan melakukan pembiaran dalam beberapa hal. Sebagai contoh untuk hal tersebut adalah kebiasaan masyarakat untuk cari aman jika berurusan dengan polisi ketika melakukan kesalahan, ataupun mengurus sesuatu. Hal-hal kecil semacam itulah bukti valid bahwa korupsi di Indonesia sudah menyentuh batas ekstremnya. Penulis tak ingin mengatakan bahwa parahnya tingkat korupsi di Indonesia serta merta dapat dilihat dari survey yang dilakukan berbagai pihak ataupun badan pengamat korupsi dunia dan menjadi satu-satunya bahan bukti.

Rakyat sudah muak dengan berbagai macam kasus korupsi dengan variasi motif yang menyertai di dalamnya yang sudah begitu sering mewarnai setiap warta berita dari beragam penjuru media. Masyarakat masih begitu mendambakan kehidupan yang tenteram tanpa pemberitaan di berbagai headline media yang selalu terisi berita tentang korupsi dan terus bersambung dan bergantian. Tapi ada sebuah hikmah yang dapat kita pelajari terkait dengan fenomena tersebut. Mungkin jarang kita sadari bahwa terkuak dan termuatnya kasus korupsi di berbagai media tersebut merupakan sebuah keberhasilan tersendiri di bawah kepemimpinan SBY. KPK sekarang begitu trengginas menelusur berbagai macam kasus yang dicurigai merupakan kasus korupsi, mulai dari mereka yang ‘raksasa’ sampai ke yang ‘liliput’ sekalipun. Penulis kira, ini merupakan sebuah efektifitas tersendiri yang tak dimiliki pada rezim orde baru di bawah arahan Jendral Soeharto. Mimpi buruk baru muncul ketika semua pemberitaan terkait korupsi itu sudah tidak ada, tetapi bukan karena korupsi menghilang, hanya tak terketahui.

Sebenarnya jika kita mempermasalahkan keadilan, maka 16 dari 17 orang yang membantu terselesaikannya tulisan ini menyatakan bahwa hukuman mati terhadap para koruptor merupakan sebuah keadilan dan disepakati. Peluang penciptaan hukum serta aturan baru melalui kesepakatan pendapat bersama oleh masyarakat tersebut tidak lantas serta merta menjadi lampu hijau terutama ketika pembahasan pengujian materi hukum tentang hukuman mati terhadap terdakwa korupsi telah masuk ke ranah hak asasi, yang tentunya antipati terhadap hukuman mati. Akan panjang jika kita membahas bagaimana keterkaitan benturan antara hukuman mati dengan hak asasi manusia. Tetapi pada dasarnya sebagaimana yang diucapkan Perdana Menteri China, Zhu Rong Ji, mengeliminir segelintir masyarakat yang nantinya akan menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan hukuman mati terhadap korupsi, sepertinya cukup adil dan setimpal.

Bukan memandang hukuman mati dari sudut subjektifitas, tetapi hal tersebut sepertinya sudah secara mengglobal diamini oleh berbagai lapisan warga negara Indonesia, dan tentunya berkedudukan menjadi posisi objektif. Tanpa munafik, sebenarnya siapapun yang berada pada posisi hukuman mati, mutlak merasa takut dan getir ketika ia secara resmi hanya tinggal menunggu hari eksekusi. Tetapi sebagaimana itu adalah akibat yang ditimbulkan dari sebuah sebab, saya kira keadilan hukum di Indonesia tetap tegak karenanya.

Sebenarnya Indonesia memiliki pasal yang memberi lampu hijau terhadap para koruptor untuk dijatuhi hukuman mati, seperti yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2 UU no 31 tahun 1999. Tetapi syarat ketat pun menjadi kriteria sebelum terpidana dapat dijatuhi hukuman mati. Dalam artian pasal tersebut dapat berlaku jika dan hanya jika syarat-syarat tertentu yang begitu variatif terpenuhi. Hal itu tentu saja menjadi batu sandungan tersendiri bagi penegak hukum ketika hendak member putusan hukuman mati.

Sebagaimana hukum ditegakkan atas nama siapa yang melakukan dan apa yang dilakukan, hukuman tegas terhadap korupsi tentu memiliki berbagai sisi positif. Setidaknya bila tidak hilang secara total, jumlah korupsi tentu memiliki penurunan drastis, mengingat tanpa dipungkiri semua orang khawatir dan takut mati, terlebih jika kita mengetahui kapan kita akan mati. Tetapi biar bagaimanapun, koruptor harusnya memiliki hukuman dengan treatment khusus yang tak seringan pelanggaran lain, karena faktor yang dirugikan adalah khalayak ramai, dan global sekali merugikan berbagai lapisan masyarakat.

Apapun dan bagaimanapun bentuk tindak korupsi, entah itu suap, pelicin, kolusi, nepotisme, dan lain sebagainya, adalah hal yang memalukan dan hina untuk dilakukan. Bagaimana tidak, apa bedanya koruptor dengan mereka copet yang ada di pasar  mengincar ibu-ibu berbelanja lantas di hajar beramai-ramai ketika ketahuan? Tentu secara sudut pandang pelanggaran, hal tersebut tidak ada bedanya, tetapi secara perspektif masa hukuman tentu tidak ditemui adanya keadilan. Apakah adil mereka yang mencuri tak seberapa harus dihajar beramai-ramai dulu hingga setengah mati baru dijebloskan ke penjara sementara mereka yang mengakuisisi uang negara yang jauh lebih banyak di beri pelayanan khusus, masa tahanan khusus, dan perlakuan khusus.

Mengahadapi tahun pemilu, 2014 ini, tentu banyak harapan yang terlontar dari kita mengenai transisi masa kepemimpinan yang baru, mengingat Susilo Bambang Yudhoyono sudah tak mungkin lagi memimpin sebagai Presiden karena konstitusi yang mengatur. Apapun dan siapapun yang memimpin kelak tentu tersemat mimpi-mimpi baru untuk Indonesia yang 100% jauh lebih baik.

Saya sebagai penulis tak ingin berbicara soal idealisme dalam makalah ini, karena yang terpenting dalam pembahasan ini adalah seberapa banyak uang di kantong. Saya juga juga tak ingin mengungkit perihal nasionalisme, karena nyatanya banyak diantara kita yang telah lupa warna bendera sendiri. Kita seakan buta dengan bisul yang tumbuh begitu subur di hidung bangsa yang memang sama sekali tak mancung. Saya juga tak ingin memperdebatkan keadilan karena memang keadilan bukan utnuk diperdebatkan.

Kita perlu melihat kebawah dan tak terus menengadahkan kepala ke atas melihat porak porandanya pemerintahan di Indonesia. Lihatlah disana ada yang menangis karena entah empat, lima, atau enam hari tak makan sama sekali. Atau mungkin disana yang terpaksa menjual apapun yang mereka miliki termasuk harga diri, guna mencari sesuap dua suap nasi. Atau mungkin kita perlu melihat mereka yang terdampar diatas dinginnya keramik mahal di emperan rumah pejabat karena tak ada atap bernaung.

Kita tak akan membicarakan soal runtuhnya moral, tetapi alangkah lebih baiknya kita bicara tentang harga diri yang sudah tak berharga dan tak memiliki arti. Atau mungkin tanggung jawab yang kini sudah dianggap sepi dan bualan di awal pemerintahan.

Kita bisa belajar dari lagu Iwan Fals dalam lagunya yang begitu mewakili perasaan bangsa Indonesia yang berjudul Manusia Setengah Dewa.

Wahai Presiden kami yang baru, kamu harus dengar suara ini. Suara yang keluar dari dalam goa. Goa yang penuh lumut kebosanan. Walau hidup adalah permainan, walau hidup adalah hiburan. Tetapi kami tak mau dipermainkan dan kami juga bukan hiburan. Turunkan harga secepatnya. Berikan kami pekerjaan. Masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri. Urus saja moralmu urus saja akhlakmu, peraturan yang sehat yang kami mau. Tegakkan hukum setegak-tegaknya, adil dan tegas tak pandang bulu. Pasti kuangkat engkau, menjadi Manusia Setengah Dewa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline