"Rumah keadilan". Kata-kata tersebut diteriakkan oleh penjaga pintu, untuk mengingatkan mereka yang ada dalam ruang sidang untuk berdiri. Tiga orang hakim memasuki ruangan untuk menjadi pengadil bagi Adolf Eichman yang menjadi tersangka dalam kasus pembantaian orang Yahudi.
"Pada 11 Mei 1960, pukul 18.30 sore hari, ketika Eichman turun, seperti biasa dari bus yang membawanya pulang dari tempat kerja, ia diringkus tiga laki-laki. Dalam waktu kurang dari satu menit, ia sudah dijebloskan ke dalam mobil yang sudah menunggu."[1]
Eichman menyadari bahwa dia sekarang berada ditangan orang-orang Yahudi. Eichman di bawah ke rumah sewaan terpencil di pinggiran Buenos Aires. Digiring tanpa diikat, tanpa obat-obatan, tanpa borgol.
Eichman sadar bahwa dia ada ditangan penculik professional dari Israel. Dia menduga hal tersebut, karena beberapa media telah memberitakan perintah penangkapannya oleh Ben Gurion. Dalam penangkapan itu Eichman di minta untuk menandatangani surat pernyataan kesediaan untuk diadili di Yerusalem. Naskah yang telah disiapkan tidak ditanda tangani oleh Eichman, tetapi dia justru meminta untuk membuat pernyataan sendiri.[2]
Inilah pengadilan kejahatan manusia yang dilakukan atas dasar ketaatan pada Negara. Di mana sang pelaku, tidak pernah merasa bersalah terhadap apa yang terjadi. Eichman ditangkap di Argentina oleh agen khusu dari Israel. "pada 11 Mei 1960, pukul 18.30 sore hari, ketika Echman turun, seperti biasa dari ritus yang membawanya pulang dari tempat kerja, ia diringkus tiga laki-laki. Dalam waktu kurang dari satu menit, ia sudah dijebloskan ke dalam mobil yang sudah menunggu. Penangkapan Eichman adalah sebuah penculikan dari Argentina ke Israel. Sampai pada akhirnya Eichman dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Yerusalem. Tetapi menarik bahwa:
Presiden Israel juga menerima ratusan surat dan telegram dari seluruh dunia, memohon pengampunan untuk Eichman; yang menonjol di antara para pengirim adalah Konferensi Pusat Rabbi Amerika, badan perwakilan Yudaisme reformasi di Amerika Serikat dan sekelompok professor dari Hebrew University di Jerusalem, di pimpin Martin Buber, yang sejak awal telah menentang peradilan itu, dan sekarang berusaha membujuk Ben Gurion untuk campur tangan memberikan pengampunan.[3]
Permohonan orang-orang Yahudi bahkan komunitas para rabi yang meminta pengampunan, tentu menjadi sesuatu yang menarik. Menarik, karena mereka yang telah menjadi korban memintakan pengampunan untuk tersangka yang terlibat dalam pembantaian. Apa yang terjadi dengan situasi pengadilan tersebut? Ini tentu berkaitan dengan apa yang disebut Arendt sebagai banalitas kejahatan.
Pada buku tersebut, Hanna Arendt mengurai secara sangat baik narasi tentang banalitas kejahatan. Sebuah kejahatan yang dilakukan atas dasar perintah dan mengabaikan rasio. Banalitas kejahatan telah mengubah kekuasaan menjadi pemegang kendali atas diri manusia. manusia menjadi bukan lagi miliknya, tetapi milik yang lain. Ketika kesadaran tidak lagi menjadi bagian dari hidup kita, maka eksistensi hidup kita akan dikendalikan oleh yang lain.
Siapa Hannah Arendt
Hannah Arendt lahir di Hanover, Jerman pada 1906 dan meninggal pada 1975 di New York. Pada tahun 1924, ia belajar di Universitas Marburg, Jerman, dan di sana ia bertemu dengan Martin Heidegger. Heidegger waktu itu telah menjadi filsuf besar. pikirannya tentang fenomenologi of being telah menjadi sebuah diskusi filosofis di berbagai universitas.
Sekalipun perjumpaan Arendt dan Heidegger cukup singkat, tetapi perjumpaan itu nampaknya sangat berpengaruh bagi Arendt. Heideger tidak sekadar menjadi teman diskusi Arendt, tetapi mereka pun menjalin hubungan cinta. Setahun Marburg, Arendt memutuskan pindah ke Freiburg. Di Freiburg Arendt belajar fenomenologi pada Husserl.