Lihat ke Halaman Asli

Memisahkan Agama Dan Politik Keputusan Jokowi Yang Tegas Atau Nekat?

Diperbarui: 26 Maret 2017   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gara-gara didemo secara bertubi-tubi tanpa dasar apa yang didemokan oleh sebagian Umat Muslim. Terus karena ada sebagian Umat Muslim yang tak mau menshalatkan jenazah seseorang gara-gara masalah politik. Maka Presiden Jokowi mengambil keputusan tegas melarang agama dibawa-bawa ke ranah politik. Bukankah ini sama saja dengan memerintahkan rakyat jadi sekuler?

Yang jadi persoalan, Indonesia adalah negara religius, meski tak menetapkan salah satu ajaran agama sebagai dasar negara. Apalagi, mayoritas bangsa ini adalah Umat Muslim yang tak bisa melepas agamanya dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Karena itu, patut dipertanyakan keputusan Pak Presiden itu tegas atau nekat?

Patut diakui bahwa karena kurangnya pemahaman sebagian besar Umat Muslim terhadap agamanya, juga karena adanya beberapa kesalahan ajaran dan pemahaman dalam agama Muslim, maka sering terjadi penyalahgunaan agama dalam politik, para politikus Muslim pun, ada yang tebang pilih ayat Al Quran. Kalau kampanye ayat-ayat yang menguntungkan disodorkan bahkan dikurang-kurangi sak imprit. Giliran korupsi lupa pada ayat potong tangan bagi pencuri, giliran zina bilang tak dirajam negara bagi pelakunya. Padahal, kalau memang mengaku Muslim, bahkan berani menggunakan ayat-ayat Al Quran sebagai dalih di panggung politik, maka hukum potong tangan, rajam, dan qisos harus selalu diingat dan dipegang kuat-kuat, meski negara tak memberlakukan itu semua sebagai hukuman. Semua hukuman itu, tetap Diberlakukan Allah atas seorang Muslim, entah dalam bentuk apa saat di dunia dan di akherat itulah yang terjadi.

Karena kesalahan dan kelalaian sebagian Umat Muslim, presiden mengambil keputusan itu. Secara akal saja, keputusan itu bertentangan dengan konstitusi Pancasila dan UUD 1945. Seharusnya, presiden dan pemerintahannya bisa memberi pencerahan ke umat, khususnya ke orang-orang yang bersalah menyalahgunakan agama hanya demi kepentingan dan nafsunya. Kalau presiden tak begitu paham soal itu minta menteri dan departemen agamanya. Kalau ternyata menteri agamanya tak bisa juga, hingga diam saja saat rakyat rusuh, segenap ulama', agamawan, dan cerdik cendekia adalah bawahan presiden. Jadi coba dimusyawarahkan, bukan  tergesa-gesa memutuskan jadi negara sekuler, meski belum ada peraturan khususnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline