Lihat ke Halaman Asli

Mengatasi Banjir Dan Macet Di Jakarta dengan Kesadaran

Diperbarui: 18 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hukum alam bukan sesuatu yang harus dilawan, juga bukan sesuatu yang patut disesalkan dan dikeluhkan. Hukum alam adalah sesuatu yang harus diterima, diakrabi, dan diambil manfaatnya secukupnya tanpa merusak, dan memutus garis kelestariannya. Tapi seringkali, karena kelalaian dan kesalahan manusia sendiri, hukum alam yang malah jadi tidak bersahabat, bahkan secara brutal menyerang dan menimpa manusia. Sekali lagi, karena kesalahan dan kelalaian manusia sendiri, hingga hukum alam menjadi jahat dan tak bersahabat. Kesalahan dan kelalaian dari sebagian orang, akibatnya bisa menimpa orang sedaerah minimal, bahkan bisa jadi seluruhnya secara tidak langsung.

Salah satu bagian alam yang mempunyai hukum alam dan aturan sendiri adalah air dan musim penghujan. Datangnya air dan musim penghujan adalah pasti. Tanpa adanya air dan musim penghujan, manusia, di manapun dan sampai kapanpun, pasti menderita dan amat sengsara, bahkan tak bisa meneruskan garis hidupnya. Tapi bagaimana kalau air meluap terus di musim penghujan, menenggelamkan harta benda yang sudah susah payah dikumpulkan, mengundang berbagai wabah dan penyakit, menghambat bahkan menghentikan berbagai aktifitas, mengambil nyawa beberapa anggota keluarga, serta mengusik dan mengganggu kenyamanan yang biasa dinikmati. Maka berkeluh kesah, menyesalkan, bahkan usaha melakukan perlawanan yang dikerjakan orang kebanyakan. Tetapi semua itu tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan malah memperberat persoalan. Persoalan yang lain-lain juga bakal terhambat penyelesaiannya, bahkan ikut jadi lebih parah.

Orang yang tinggal di barat, tidak pernah tahu manfaat salju itu apa. Pembahasan dan kajian khusus tentang itu juga nyaris tidak ada. Misalkan manfaatnya adalah sama dengan menambah asupan air seperti hujan, kenapa harus berbentuk buliran es lembut yang bersuhu dingin naudzubillah? Tetapi mungkin, orang barat tetap harus bersyukur meski begitu, patut diakui, walaupun uap air jadi beku, salju tetap lembut dan tak benjol saat mengenai kepala. Namun mengerikannya, salju itu tidak hanya menenggelamkan daratan seperti air di Indonesia, tetapi juga menimbun atap rumah, bahkan mungkin sampai lebih parah, menenggelamkan rumah, jika ada orang tak cerdas membangun rumah kecil dan pendek seperti perumahan-perumahan sangat sederhana sekali di Indonesia. 

Untungnya, di sana, dari dulu nenek moyang orang sana, sudah berpikir membuat bangunan yang cukup tinggi dengan atap meruncing, agar salju langsung jatuh dari atap. Alam di sana pun, juga telah menyediakan material yang kuat tahan salju, kayu yang dihasilkan juga dari pepohonan yang tinggi-tinggi dan besar-besar. Soal cara bertahan berada di daerah bersuhu ekstrem, mulai dari pakaian, makanan, minuman, juga adanya beberapa kebiasaan hidup seperti membuat tungku penghangat, juga coba mereka sesuaikan. Intinya, mereka sadar sekitarnya, maka harus beradaptasi dan mengatur segala sesuatunya, agar mereka bisa bertahan hidup dan menjalaninya secara nyaman dan aman.

Sementara itu, orang Indonesia, khususnya yang ada di ibu kota, baru air yang menimpa dan menjadi langganan tiap tahun. Tapi tiap tahun, begitu banyak keluhan, penyesalan, dan tindakan perlawanan atas hukum alam dari masyarakatnya. Di jaman Jokowi jadi gubernur, sampai ada usaha rekayasa cuaca. Mungkin itu seperti tradisi mengusir awan mendung dengan minta pawang hujan, ketika ada acara hajatan dan pesta pernikahan. Padahal dalam beberapa hadist dikatakan, dalam setiap titik embun dan buliran hujan, ada rahmat di dalamnya. Bahkan dikatakan, ada malaikat yang bersemayam di atasnya. Orang Arab yang jarang dihujani dan hidup di tempat yang jarang air, pasti menganggap adanya setetes air adalah sangat penting. Air harus sangat dihemat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sementara orang Indonesia yang Dikaruniai Allah air melimpah sampai meluap-luap malah tidak bersyukur, bahkan kufur. Seharusnya, kalau orang Indonesia mau menengok dan merenung atas keadaan dan tantangan yang dihadapi saudara-saudaranya seketurunan Adam, di Eropa ataupun di Arab, kalau tidak bisa bersyukur, setidaknya terima saja, jangan kufur (mengingkari dan melupakan Nikmat Allah yang lain) dengan mengeluh, menyesali, apalagi menantang mau menaklukkan air dengan menghambat gerak dan peredarannya.

Pengertian kufur hampir sama dengan kafir, yaitu ingkar, hanya saja kadar keingkarannya yang berbeda. Kalau kufur sebatas mengingkari nikmat, sedang kafir ingkar pada segalanya. Karena itu, orang yang kufur, pasti akan menerima akibat yang amat pedih, karena selain masalah tak terselesaikan, waktu juga habis untuk melakukan hal tak berguna, persoalan yang lain juga terbengkalai dan jadi makin parah. Kalau dibiarkan, setidaknya orang tak coba melakukan hal tak berguna, bisa segera mengalihkan perhatian ke kegiatan lain yang harus diselesaikan dan dituntaskan. Tapi kalau mau bersyukur, jangan bersyukur atas musibah yang menimpa. Mensyukuri sesuatu adalah agar Nikmat Allah Ditambah. Maka kalau mensyukuri musibah adalah sesuatu yang sangat fatal dan berbahaya. Mustahil kan, orang kena musibah banjir, malah ingin banjirnya ditambah? Syukur yang benar, tepat, dan akurat adalah mensyukuri nikmat yang tersisa atau kondisi yang masih lebih baik daripada yang lebih parah. Tapi kalau kemudian diam saja dan tak mau berusaha jadi lebih baik dari yang ada maka akan jadi makin parah atau disusul oleh yang kondisinya lebih parah.

Itu berarti, cara bersyukur yang benar, tepat, dan akurat adalah bersyukur yang disertai kesadaran. Yaitu sadar akan hal-hal, situasi, dan kondisi di sekitarnya, bisa berpikir jernih dalam arti dapat membedakan yang baik dan yang buruk, untung-rugi, dan coba menalar kemungkinan lebih lanjut atas dasar ilmu dan pengalamannya, serta mampu melakukan sesuatu yang diperlukan. 

Kemudian, orang yang sadar juga berarti sadar butuh bisa hidup tenang, aman, dan nyaman, sadar perlunya ada hukum, sadar untuk mau berlaku tertib dan taat hukum, selalu menjaga kelakuan dan melakukan yang baik, menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk, serta sadar untuk cepat tanggap pada yang terjadi di sekitar dan saling mengingatkan bila ada kelalaian, kesalahan, bahkan pada hal yang masih kemungkinan bisa menjadi kesalahan fatal dengan cara yang baik dan tidak perlu tersinggung jika diingatkan. Lalu, sadar berikutnya dalah sadar untuk segera memperbaiki yang salah dan tidak benar dengan melakukan hal-hal yang benar.

Dalam bahasa lebih sederhana, ketiga kesadaran itu bisa disebut sadar akan kenyataan dengan hati, pikiran, dan perasaan, sadar hukum dan aturan, dan sadar bila melakukan kelalaian dan kesalahan harus menerima hukuman dan harus segera memperbaikinya. Dengan tiga konsep kesadaran itu, semoga warga Jakarta dan orang Indonesia lainnya bisa mengatasi banjir dan macet di daerahnya. Amat penting sadar akan keadaan dan kondisi alam, amat penting sadar hukum dan aturan, juga sangat penting segera memperbaiki kesalahan yang ada. Dengan selalu sadar berarti tidak owah, sakit, dan gila. Yang tidak sadar berarti owah, sakit, dan gila. Hanya saja, kadar dan kekronisan keowahan, sakit, dan kegilaannya saja yang pada tiap orang bisa berbeda-beda, tergantung seberapa tinggi tingkat kesadarannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline