Lihat ke Halaman Asli

Dua Pedang Bermata Dua yang Menjerat Negeri Ini (Menemukan Sosok Pemimpin Ideal)

Diperbarui: 6 Februari 2017   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa ini belum selesai dengan kemelut penistaan agama. Proses pengadilan Pak Ahok masih terus berjalan, sementara yang memimpin para penuntutnya, Pak Rizieq Shihab, juga tengah tersandung-sandung kasus yang sama, bahkan lebih parah, karena dia sampai memicu disintegrasi bangsa dengan menuduh pemerintahan yang berkuasa sebagai pemerintahan yang disetir dan dikendalikan PKI. Dengan kasus ini, bangsa ini sesungguhnya tengah dihadapkan pada dua pedang yang sama-sama bermata dua.

Di satu sisi, ada kubu Pak Ahok yang dikenal tegas, berani, berintegritas memimpin DKI, juga bisa dibilang memiliki komitmen dalam memberantas korupsi, tetapi tidak bisa dipungkiri juga punya berbagai kelemahan seperti tidak segan-segan sampai berkata kasar dalam menanggulangi persoalan di DKI, yang bisa dibilang amat pelik dan rumit, juga teridentifikasi ada praktek nepotisme yang semoga masih bisa dibilang tepat guna dalam memberdayakan keluarga dan relasi, serta bukan tidak mungkin kalau beberapa kasus korupsi seperti Sumber Waras adalah benar, meski bisa jadi itu hanyalah fitnah untuk menjatuhkan pejabat jujur dan berintegritas.

Sementara itu, di sisi yang lain, ada tandingannya, yaitu Pak Rizieq Shihab, yang seolah telah menjadi kepanjangan tangan tokoh politik tertentu, kemudian walaupun tidak pernah turun tangan sendiri, tetapi terindikasi lebih kasar daripada Pak Ahok dengan FPInya, juga memiliki lebih banyak ucapan kasar dalam menyerang kelompok lain, dan sepertinya terindikasi kuat menjadi tameng koruptor dan pelaku nepotisme yang terorganisir dengan cantik. 

Tetapi soal kasus dan kemelut yang terjadi di antara mereka, sebenarnya jelas, tujuan utamanya adalah penguasaan atas Ibu Kota negara. Yang tengah bertarung adalah pejabat yang memiliki elektabilitas amat tinggi di mata rakyat melawan para mafia politik. Jadi, masyarakat harus benar-benar cerdas mensikapi soal ini.

Kalau masyarakat bisa memandang persoalan ini secara jernih, obyektif, dan dalam skala besar, bukan dalam skala sempit berdasarkan sentimen-sentimen politik dan isu yang dihembuskan, Insyaallah bakal bisa menangkap suatu benang merah yang kuat di dalam kasus ini. Yang amat penting digaris bawahi dalam memandang persoalan secara jernih, obyektif, dan berskala besar adalah masyarakat harus bisa adil, tidak memihak, dan tujuan utamanya adalah meninggikan derajat kemanusiaan dan berbagai nilai yang mulia seperti tetap menjaga persatuan bangsa dan negara dalam satu wadah NKRI yang berdaulat dan memiliki supremasi hukum yang jujur dan adil. 

Dalam hal ini, masyarakat juga harus sangat jeli dalam menerima informasi dan menangkap berbagai gejala politik yang ada dengan tetap berpijak pada kebenaran dan Petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Tapi petut diingatkan tentang ini sebelumnya, bahwa segala hal yang tertuang dalam tulisan ini tidak seratus persen benar, tetapi masyarakat rasanya sudah cukup cerdas dalam menilai dan mempertimbangkan sendiri dalam menerima dan mengakses informasi, serta dalam menangkap berbagai gejala yang ada.

Untuk kasus penistaan agama yang menjerat Pak Ahok, yang mengutip Surat Al Maidah 51 dalam pidato di Kepulauan Seribu, banyak umat Muslim yang marah, kemudian mau dipimpin FPI dan MUI untuk menuntut Pak Ahok dengan tak kenal kata maaf, hingga mereka masuk perangkap politik, hingga akhirnya pemimpin FPI, Pak Rizieq Shihab, sendiri terjebak dalam penistaan agama, menghina Tuhan umat agama lain yang jelas-jelas dilarang dalam ajaran Al Quran. Dari sini, umat Muslim seharusnya bisa menilai sendiri, mana yang lebih parah kesalahannya. Penista ulamak yang salah atau penista Tuhan umat agama lain yang memancing mereka untuk menghina Allah dengan dasar dan pengetahuan yang jelas?

Runtutan sesungguhnya dari kasus ini, terindikasi, Pak Buny Yani adalah kawan Pak Anis Baswedan, calon Gubernur nomor urut 3 dalam Pilkada DKI. Dengan tujuan meraih kursi DKI, bisa jadi mereka kerja sama atau sekedar saling dukung antar teman untuk menurunkan elektabilitas calon nomor urut 2, Pak Ahok dan Pak Jarot, yang sedang di atas angin sebelum pemilu. Kemudian, usaha Pak Buny Yani ini mendapat apresiasi dari masyarakat, FPI dan calon yang diusungnya mengipasi bara yang disulut oleh Pak Buny Yani, sehingga terjadilah serentetan aksi demo besar, yang menuntut Pak Ahok diadili. Terbukti, ketika Pak Buny Yani, mau mundur dari kasus dan minta maaf kepada masyarakat dan kepada Pak Ahok, FPI lah yang mencegah dan mendorong Pak Buny Yani untuk meminta maaf itu. 

Dari sini, rasanya sudah bisa ditangkap adanya modus politik tertentu. Terlebih lagi, mantan orang nomor satu di negeri ini langsung pasang kuda-kuda untuk cuci tangan bila kasus ini membesar, dengan jargon politik, "Lebaran Kuda". Dan rasanya bukanlah suatu kebetulan, kalau mantan orang nomor satu itu adalah orang tua calon gubernur nomor urut satu, terkait erat dengan pemimpin FPI, FPI itu sendiri, dan pimpinan MUI. Dan usut punya usut, ternyata suami wakil calon nomor urut satu, ikut menggelotorkan dana dalam aksi demo yang berlangsung. Semoga dari sini, masyarakat sudah bisa menangkap peta politik yang tengah berlangsung di DKI.

Untuk selanjutnya, perlu diluruskan sedikit soal makna Surat Al Maidah 51. Dalam soal ini, sesungguhnya amat rentan sekali terjadi konflik apabila tidak menelusurinya hingga jauh ke belakang. Dalam kasus Surat Al Maidah 51 ini, sesungguhnya serba salah jika terlalu diusut tanpa kesepahaman untuk menemukan kebenaran sejati. Dan kunci dari kebenaran sejati itu, ada dikesalahan penterjemahan kata auliya dalam Al Quran. Jadi, yang salah di sini bukan Al Qurannya, tetapi penterjemahan istilah auliya tersebut, yang hingga saat ini merujuk pada terjemahan Kementerian Agama di masa Orde Baru. 

Patut diingat bahwa Isi Al Quran itu suci dan benar seratus persen, tetapi Kementrian Agama bisa salah, bahkan pernah jadi lembaga terkorup seindonesia, yang parahnya dana untuk pengadaan Al Quran pun dikorupsi juga. Maka jika hal ini, tidak dikoreksi, selamanya lembaga ini akan jadi momok dan tempat berkumpulnya para setan dalam bentuk manusia, karena terhadap arti Ayat-ayat Allah pun, mereka korup atau tetap membiarkan terkorupsi secara turun-temurun. Pada Ayat-ayat Allah saja mereka berani korup apalagi sekedar uang rakyat?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline