Menjauhi keramaian demi berdamai dengan diri sendiri bukanlah sebuah keanehan. Memiliki sebuah prinsip yang berbeda itu tidak selamanya dapat diterima oleh orang lain, melainkan selalu saja mendapatkan respons negatif.
Tidak disangka mayoritas orang lebih memilih menjauhi keramaian dan menghabiskan waktu untuk di rumah saja. Seperti pada perayaan Lebaran tahun ini, media telah menggambarkan situasi kemacetan lalu lintas yang disebabkan orang mudik ke kampung halaman.
Untuk menghindari situasi yang tidak kondusif, seperti kemacetan berkepanjangan dan membludaknya jumlah turis, beberapa dari mereka mencoba berkomunikasi dan bersilaturahmi melalui media sosial. Bahkan, para kawula muda mencoba untuk menghabiskan waktu di rumah dengan kegiatan yang menyenangkan, salah satunya ialah menyaksikan anime, sebuah animasi dari kultur pop Jepang.
Mengikuti kultur pop Jepang, seperti menyaksikan satu season anime atau memiliki ketertarikan dalam membaca manga, dapat diistilahkan sebagai seorang "wibu". Sebenarnya, makna dari istilah "wibu" belum ada yang pasti, tetapi media sosial telah menggambarkan istilah ini sebagai seseorang yang "introvert",
menggunakan wallpaper anime baik di hp maupun laptopnya, penggunaan kata "watashi" sebagai pengganti kata "aku", dan pastinya berkaitan dengan penggunaan kacamata. Dengan kata lain, mereka dianggap memiliki perilaku 'aneh'.
Seorang "wibu" seringkali mengalami kesulitan untuk terbuka kepada orang lain atau menerima orang baru. Hal ini pernah terjadi kepada salah seorang pemuda asal Depok bernama Irvin Isai. Irvin Isai, atau biasa dipanggil Isai, seringkali lebih memahami kultur pop Jepang dibandingkan dengan perayaan Lebaran.
Dibalik ketertarikannya kepada budaya pop jepang, Isai selalu pandai menyembunyikan latar belakangnya. Sebuah ciri khas dari seorang "wibu" sejati, bahwa tidak mudah terbuka kepada orang lain.
Tumbuh menjadi seperti Isai itu tidak mudah, ia lahir dari hasil pernikahan beda keyakinan, ayahnya gereja di hari minggu sedangkan ibunya berdoa lima waktu. Sayangnya, kebahagiaan itu tidak bertahan lama sehingga Isai pun terpaksa harus ikut ibunya.
Meski begitu, ia selalu terlihat tegar dan ceria ketika bertemu teman-temannya, tetapi pada momen tertentu raut kesedihannya tidak pernah bisa disembunyikan. Menariknya, ia sempat menempuh pendidikan menengah atas di sebuah sekolah swasta Kristen.
Isai pun tidak pernah mempermasalahkan untuk mempelajari ajaran Kristen, bahkan ia pun diperbolehkan untuk tetap melaksanakan sholat jumat.