(Pemikiran pribadi)
Sebagai warga negara, saya tidak membela siapapun. Seringkali jika saya menonton acara televisi yang sedang membahas politik atau politikus, selalu saya dengar para komentator mengomentari pejabat kita. Tidak salah memang jika kita mengomentari pejabat, mengkritiknya, atau bahkan mencelanya, karena memang itulah demokrasi di mana warga negara bebas melakukannya. Namun kadang ada banyak kritik yang tidak masuk akal.
Sebagai contoh, saya pernah menonton sebuah acara diskusi di sebuah televisi swasta yang didalamnya salah seorang seniman (saya tidak sebut nama ya!) mengkritik tingkah laku pejabat yang menggunakan vooridjer selama di jalan raya. Seniman tersebut berkata yang intinya mengisyaratkan agar pejabat itu juga ikut macet-macetan dan tidak perlu menggunakan vooridjer. Awalnya saya berpikir saya sependapat dengan seniman tersebut namun setelah saya cerna lagi, kok aneh yah? Saya pikir, itu memang sudah hak mereka untuk mendapatkan pengawalan ketat atau perilaku khusus bagi mereka saat mereka berlalu lintas. Toh mereka tidak melanggar hukum. Lain halnya jika mereka melanggar hukum. Kita kadang suka mengatakan, "Ah,pejabat. Kalo lewat bikin macet aja!", merasa seolah kita yang paling dirugikan. Padahal kalau dipikir lagi, bagaimana jika mereka sedang dalam perjalanan penting untuk mengurus negara. Apa perlu pada saat negara sedang mengalami masalah darurat, pejabat yang merupakan pengambil keputusan harus ikut macet-macetan yang akhirny mengulur-ngulur waktu dan masalah karena pejabat tersebut belum hadir dan belum ambil keputusan? Akhirnya malah kerugian skala besar yang terjadi. Saya bukan membela pejabat, namun saya tekankan di sini memang itu hak mereka. Kalau kita bilang "ah mereka kan korup. Udh enak hidupnya", apa benar? Apa kita punya bukti? Apa kita juga akan berpikir yang sama ketika atasan kita menyuruh kita melakukan sesuatu yang menguntungkan dirinya?
Sekarang menjelang Pilpres. Banyak yang bilang, "Ah si A , bisanya cuma pencitraan ! Ah si B, ngomong doang kayak pernah miskin aja". Saya pikir suka-suka mereka lah. Kita kan milih dia buat kemampuan kerja. Apa perlu Presiden RI nant orangnya baik sama media, gak suka pencitraan, hidupnya normal dan baik tapi kerjanya amburadul. Kan gak juga. Politisi pencitraan/ ngomong doang kan memang biasa. Karena itu memang pekerjaan dia. Kalau pedagang kue jual kue, politikus jual citra dan janji. Tidak perlu kita asal menuduh mereka tidak kompeten atau tidak becus. Sebagai contoh, (saya sebut nama), Prabowo , ada yang bilang kalau Prabowo hanya perwira tidak punya pengalaman jadi Presiden. Ya jelas saja, memang dia tidak pernah jadi Presiden kok. Siapa tau Prabowo ternyata memang benar-benar akan menepati janjinya dan membawa Indonesia lebih baik. Ada yang bilang juga katanya buruh Prabowo tidak sejahtera atau apalah, beda lho antara menjadi pengusaha dan public figure. Kalau kita dengan mudah berkata, "Gak bisa gitu dong", apa pernah kita menjadi seperti dia yang jadi pengusaha da politisi. Tidak semua perusahaan bisa mensejahterakan buruhnya lho meskipun pemiliknya kaya.
Sekarang kandidat kedua, Jokowi. Kritikus Jokowi berkata, "Ah, dia jadi gubernur aja gak bisa urus apa-apa mau jadi Presiden. Masih banjir macet nih dll". Ada juga yang mengatakan, "Jokowi pengalaman politiknya masih baru, tidak pantas menjadi Presiden". Atau "Dia mah kutu loncat pindah-pindah terus" . Pertama, Gubernur sama Presiden beda lho. Gubernur DKI memang mengurus urusan enegeri, pangan, ekonomi, pertahanan, luar negeri? Kan tidak. Jakarta kompleks dan tidak mudah mengatasinya kecuali Jokowi itu dewa yang bisa menyulap Jakarta menjadi indah dalam semalam. Kan tidak. Siapa tau Jokowi punya kemampuan yang lebih baik di bidang-bidang pekerjaan Presiden seperti pengaturan birokrasi, energi, agrikultur, ekonomi, pertahanan dsb. Yang kedua, Jokowi memang masih baru kok, memang dia pernah jadi Presiden sebelumnya? Nah yang ketiga, Jokowi kutu loncat. Saya sih tidak mau munafik ya. Saya saja kerja kalau ada kesempatan di perusahaan lain yang lebih baik, saya pindah lho, ninggalin perusahaan lama saya. Banyak kok orang begitu. Kutu loncat juga dong. Jokowi kan politisi, jadi kalau naik pangkat, ya wajar-wajar aja. Kalau ada yang bilang "dia mah gak tanggungjawab ninggalin Solo dan Jakarta", memangnya cuma dia doang yang kayak gitu kan banyak juga yang lain. Toh kalau dia terpilih jadi Presiden, dia tetap berbhakti buat rakyat Indonesia yang di mana rakyat Jakarta-Solo termasuk di dalamnya.
Menurut saya, kalau kita mau mengkritik orang, lihat dulu diri kita. Pikir apa kita pernah melakukan hal serupa atau tidak? Dalam skala yang lebih besar atau kecil? Selama perilakunya tidak melanggar hukum dan masih bisa ditoleransi, yah tidak perlulah kita mengungkit-ungkitnya apalagi sampai jadi pembicaraan di televisi. Masih banyak kok pembahasan yang lebih penting untuk disiarkan di TV daripada kritik yang kadang tidak masuk akal.
Saya bukan membela siapa-siapa, hanya saja saya ingin mengatakan hal ini pada kritikus-kritikus kandidat-kandidat dalam Pilpres ini. Kenapa bukan kritik yang bermanfaat saja seperti kejanggalan program ataupun catatan hitam mereka. Kenapa malah jadi kritik tentang pencitraan lah, propaganda media, persengkongkolan Zionis, bahkan ada gosip yang mengatakan salah satu kandidat tidak punya alat kelamin. Kan aneh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H