Temen - temen kompasianer pernah ngga dikatain sama seperti yang aku tulis di judul? Tentu banyak dari kita yang sudah pernah berada pada titik terendah kita, especially ketika sedang mencapai kedewasaan. Oh, jangan salah loh, kata - kata diatas itu engga hanya didapat pada beberapa kalangan orang ternyata. Dari pengalaman aku sebagai guru Bahasa Inggris online, ternyata ngga sedikit mereka yang berprivilege yang juga mengalami dibentak, abuse, depression dan beberapa hal lainnya yang termasuk gangguan kesehatan mental, baik itu ringan, maupun yang sudah mencapai tahap berat.
Jujur selama ini aku ngga pernah mikir bahwa such toxic treatment itu juga dialami oleh mereka orang - orang yang punya kekuasaan atau kekuatan loh. Aku kira fenomena toxic parenting itu hanya ada di keluarga yang kurang bisa memberikan kebutuhan - kebutuhan dasar seorang anak. Bear in mind, kebutuhan anak tidak hanya susu, baju, dan juga uang untuk sekolah lho, tapi lebih seperti kasih sayang, quality time, acknowledgement, praise, dan juga komunikasi baik itu verbal ataupun non-verbal.
Ada satu hal lucu yang aku pernah temui di internet, dan saking lucunya, sampe - sampe bikin aku khawatir kalo - kalo fenomena ini ditiru oleh semua orang. Jujur, aku engga tahu nih orang ini influencer besar atau apa, namun kalaupun dia influencer besar, aku harap orang itu berhenti deh jadi influencer, karena bahaya banget kalo dia bikin konten serupa dan diikuti banyak orang. Konten ini adalah sebuah video yang diunggah di banyak platform, dan di dalam konten ini si influencer memberikan statement tentang bagaimana caranya anak menjadi "bully proof", atau bisa dibilang tahan terhadap bullying yang banyak terjadi di sekolah. Bagaimana caranya? Ternyata si influencer mencontohkan bahwa dia adalah the biggest bully in the house! Beliau berprinsip jika anak dikenalkan dengan bullying sejak awal, maka nanti ketika beranjak dewasa akan menjadi kebal terhadap bullying! Wow...
Jujur aku ngga habis pikir kalau sampe banyak yang menerima wejangan dari influencer itu mentah - mentah dan percaya aja gitu.. Aku kasihan banget sama generasi penerus yang katanya disebut "Bully Proof" malah menjadi generasi yang dewasa dengan mental condition yang kurang baik.
Pernah terpikir: "Kapan ya orang bakalan paham bahwa emosi dan perasaan orang lain itu berharga? Kapan ya orang bakalan berhenti mengatakan 'Jadi orang tu jangan baperan!' atau 'Alah, aku cuma bercanda kok kamunya baper sih?' Kapan ya orang - orang yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain ini dicelikkan matanya untuk bisa lebih menghargai orang lain?" Sepertinya itu akan menjadi PR yang lama banget sih, karena salah satu trend di Indonesia kan being a toxic person kan ya? No wonder banyak yang koar - koar di medsos, menghakimi, menghina, bahkan menghujat satu sama lain.
Ya sudah, sepertinya memang harus mengelus dada melihat kondisi mentalitas orang jaman dulu ya. Mereka memang dididik untuk menjadi orang yang tangguh, yang tidak boleh nangis, yang apa - apa harus bisa, yang ga boleh gampang menyerah dan harus memaksakan untuk menjadi yang terbaik. Apakah itu buruk? Oh tentu engga, sama sekali engga, namun dibalik semua festivities yang mereka cari dengan menjadi orang yang tangguh, engga menangis, apa - apa bisa dan semuanya itu, mereka lupa bahwa mereka berusaha menjadi seperti Tuhan yang bisa melakukan semuanya. Mereka lupa bahwa manusia hanyalah makhluk yang lemah yang tak berdaya selain berpegang dan berpasrah kepada kehendak Tuhan. Mereka masih berfikir bahwa Uang adalah kekuatan mutlak, Uang adalah Privilege, Uang adalah yang utama, apakah itu salah? Tentu tidak, kita memang tidak bisa hidup tanpa uang, namun pernahkah kita bertanya, untuk apa sih kita mencari uang? Untuk bertahan hidup kah? Atau untuk memuliakan namaNya yang Agung? Untuk bersyukur karena sudah diberikan hari - hari yang baik dan juga kehidupan yang walaupun penuh tantangan tapi tak terasa selalu bisa melewati semuanya dengan baik?
IMHO, orang sudah mulai lupa akan karya Tuhan dalam hidup mereka. Orang banyak yang lupa bersyukur dan menjalankan hidup seperti yang mereka tahu, bukan apa yang diajarkan Tuhan. "Lah itu buat yang berTuhan kan? Lalu yang tidak berTuhan mereka apakah hidup fine - fine saja?" Miris dan Ironisnya, terkadang terbesit dalam pikiran, "Kok jawaban dari pertanyaan itu 'Iya' ya?" Apakah enak hidup menjadi seorang Atheis? Kan ngga perlu tuh merasakan tempat ibadahnya dipermasalahkan, disegel, dibakar, dibom dan lainnya, dan ngga perlu mengambil peran dalam permasalahan, penyegelan, pembakaran dan lainnya?
Apakah orang - orang yang aku bicarakan diatas adalah itu adalah orang - orang yang kurang berdoa? Apakah mereka tidak perlu bertemu dan berkonsultasi dengan Psikolog karena mereka bukan orang Gila? Apakah harus menunggu jadi orang gila dulu baru harus bertemu dengan Psikolog? Betapa mirisnya cara berfikir orang ya, kesehatan mental diremehkan, dibilang tidak penting, yang penting uang, lah kalo mental kamu tidak sehat, gimana caranya cari uang bro?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H