Lihat ke Halaman Asli

Bentuk Terburuk dari Kekerasan

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melenceng, itulah sekiranya yang nampak bagi saya ketika memandang pembangunan dan demokrasi di negeri ini. Kesejahteraan birokrat sudah terlalu dijunjung rezim-rezim yang silih berganti. Ini memicu kemiskinan yang menjadi sahabat erat puluhan juta penduduk Indonesia. Anggaran untuk pemberantasan kemiskinan sebenarnya sudah jelas, meski jumlahnya tak sebanding dengan anggaran belanja rutin negara kita yang mencapai 40 persen lebih dari APBN. Tapi perlu menjadi sorotan bahwa dana untuk pengentasan kemiskinan sudah melonjak hingga 5 kali lipat dibanding pada tahun 2006. Jadi meskipun memang anggaran kita tidak pro rakyat, namun lonjakan itu setidaknya bisa menjadi patokan bagi turunnya kemiskinan. Sayangnya realita tidak berkata serupa, tidak ada penurunan kemiskinan yang signifikan selama rezim terakhir ini. Wakil Presiden Transparency Internasional, Akere T. Muna pernah berkata:

// “Kemiskinan dapat dihapuskan kalau toleransi terhadap korupsi nol”

Jadi dimana sebenarnya letak permasalahannya? Tidak bisa disangkal lagi bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah terlalu menjalar sebagai sebuah penyakit menular. Desentralisasi yang ada ternyata juga mendesentralisasikan penyakit ini ke berbagai daerah, tidak heran makanya kalau separuh lebih kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Hal ini yang menjadi penyebab upaya pembangunan di daerah-daerah terhambat bahkan terkesan asal-asalan. Korupsi itu sendiri juga menumpulkan program-program yang dicanangkan pemerintah. Seperti tahun lalu saja sebenarnya pemerintah kita telah meluncurkan 6 program pro rakyat, namun dampaknya terlalu awang-awang bagi kita. Untuk jangka panjangnya, korupsi dalam segi pendidikan serta kesehatan misalnya dapat berdampak buruk bagi kuantitas maupun kualitas SDM di negeri ini, mereka menjadi tidak kompetitif menghadapi globalisasi yang ada. Mengingat akan sudah menjalarnya korupsi di negara kita, maka sistem pendidikan adalah kunci utama untuk melakukan rekonstruksi tradisi busuk ini. Cara berpikir dan bertindak para penerus bangsa ini perlu direstorasi, generasi lama biarlah cukup dibiarkan termakan waktu karena hukum pun sudah menjadi lahan empuk bagi para tikus berdasi ini.

Selain persoalan korupsi, pemerintah kita juga seakan tidak begitu peduli terhadap kehidupan di perdesaan yang didalamnya terdapat 64 persen rakyat miskin. Karakter masyarakat desa yang komunal menempatkan pertanian sebagai usaha kolektif sekaligus tunggal. Dan ketika sumber usaha itu dirampas oleh berbagai kepentingan infrastruktur yang memihak kaum kapital, pemerintah malah menjadi dalangnya. Lebih kacaunya, pembenahan irigasi ataupun subsidi pupuk hampir tidak pernah kedengaran lagi selama beberapa tahun terakhir. Bahkan penelitian produktivitas tanaman padi bisa dibilang samar-samar. Padahal, meningkatkan produktivitas padi adalah langkah paling memungkinkan untuk menyejahterakan para petani di desa. Hal lain yang perlu disayangkan adalah kaitan terhadap sisem ekonomi pasar negara kita yang membiarkan petani terkapar bersaing dengan produk impor. Pemerintah kurang mempersiapkan mereka agar tahan banting terhadap globalisasi. Beras cianjur dibiarkan terkapar menghadapi murahnya beras Thailand, belum lagi jeruk pontianak yang harus bersaing dengan jeruk mandarin.

Lepas dari hal itu, miskin bukanlah kutukan. Bahkan bagi saya kemiskinan di negara ini juga bukanlah karena ketidaksanggupan memiliki etos kerja, namun lebih karena faktor struktural yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Kemiskinan struktural lebih disebabkan oleh ketimpangan struktur sosial yang menjerat rakyat-rakyat miskin dalam lingkaran setan kemiskinan dimana bahkan menurun hingga anak cucu setidaknya dalam tiga generasi. Eksploitasi oleh struktur kapital nan mapan yang terutama menyedot sektor tradisional menyebabkan banyak masyarakat tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya memang tersedia bagi mereka. Ini masih sama kondisinya ketika zaman VOC dimana eksploitasi yang ada tidak dibarengi fondasi perekonomian yang kuat sehingga berdampak deindustrialisasi serta involusi pertanian. Maka pembongkaran total struktur sebenarnya perlu dilakukan bahkan mungkin secara radikal. Sayangnya semua itu sejauh ini mampu dilumpuhkan oleh golongan kaum atas. Kegagalan PKI di masa lampau adalah contoh konkret bahwa penanggulangan seperti ini tidak akan berhasil selama kekuatan kaum kapital masih dominan.

Maka bila pendekatan struktural gagal di negeri ini, penanggulangan kemiskinan yang bersifat karitatif rupanya menjadi favorit. Begitu banyaknya program ini dan itu diluncurkan pemerintah kita namun mekanisme pelaksanaannya di lapangan selalu menjadi masalah. Terlebih lagi program-program yang ada selalu saja tak menyentuh ke akar langsung melainkan mengambang. Implikasi panjangnya bila ini semua dibiarkan adalah terbentuknya kultur minta bantuan terhadap pemerintah. Kultur ini nantinya dapat mengurangi tingkat partisipatif masyarakat dalam pembangunan karena keterbiasaan.

Seorang kawan pernah berkata pada saya bahwa tingkat kesenangan masyarakat Indonesia sebanding dengan Norwegia yang GDP nya belasan kali lipat lebih besar. Jadi meskipun kemiskinan merajarela, namun masyarakat kita sampai pada kondisi pasrah dan menikmati hidup mereka bahkan melebihi para penguasa yang terbebani sodok sini sodok sana. Kehidupan yang apa adanya bisa jadi sudah tertanam dalam mental masyarakat kalangan bawah kita. Disinilah sekali lagi peran pendidikan untuk memelekan mata mereka diperlukan menurut saya. Karena yang namanya kemiskinan tentunya menyusahkan hidup. Seperti kata Mahama Gandhi :

// “Kemiskinan adalah bentuk terburuk dari kekerasan”

Dan saya kira pemerintah masih memiliki peluang untuk menghapuskan musuh sejuta umat itu dari Indonesia, asalkan kondisi keterperukan ini memang tidaklah sengaja dibiarkan untuk kepentingan kaum tertentu dan bukan sekedar sesuatu yang digemari menjadi komoditas politik saja. Struktur negara kita memang terlalu kronis, tapi kembali lagi perubahan itu harus ada dan memang belum terlambat rasanya. Mulai dari sekarang, terlibatlah dalam pembangunan negeri ini, jangan biasakan budaya meminta pemerintah menjalar. Saya dan anda bisa menjadi pembawa perubahan Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline