Kisruh Ahmadiyah berbuntut panjang. Adu argumentasi sosial, hukum, pendidikan bahkan fisik belum menemukan titik terang. Sejarah membuktikan, sejak dari asal Ahmadiyah di Qadian, berlanjut ke Aceh hingga penyerangan jemaah di Temanggung yang memakan lagi korban, bahwa penyelesaian masalah tak pernah tuntas. Ibarat bara di lahan batubara, nyala api tak pernah bisa mati, kecuali jika batubara yang membuat api menyala di angkat-pisahkan dari tanah dan bebatuan asalnya. Siraman air pada tubuh-tubuh yang berkobar terbakar, pastilah membuat luka yang dalam bahkan kematian ! Keyakinan serta kumpulan orang-orang yang yakin pada suatu bentuk idealisme, prinsip, jalan fikiran, apatah lagi bentuk penafsiran keyakinan (agama), bukan hal mudah untuk dilenyapkan dengan senjata hukum, tekanan, pembubaran bahkan pembunuhan. Solusi bijaksana atau solusi jalan tengah yang ditawarkan kelompok islam liberal memang sangat diharapkan untuk didiskusikan lebih mendalam hingga terjabarkan dalam rencana aksi mendetail yang bisa diterima semua pihak. Tentunya harus diterima dengan jiwa lapang, fikiran jernih dan niat baik tanpa tendensi dan pretensi. Meski secara hukum dan kajian keislaman versi tokoh agama harus pula didengungkan guna penegakan hukum serta pembelajaran bernegara bagi masyarakat. Namun sepak terjang alat negara hingga aktifitas jaringan organisasi sosial dan agama hendaknya punya "rem" akal sehat, HAM dan kepekaan sosial (baca; kearifan). Sudah bukan rahasia lagi jika bahaya latent komunis yang atheis masih bersembunyi di negara ini. Sedikit saja pintu terbuka untuk mereka, pastilah akan terlihat wajah-wajah mereka dengan senyum merekah. Pun siapa bilang kelompok Lia Eden sudah terkubur dan takkan pernah bangun lagi ? Apatah lagi kelompok-kelompok subversif dengan tombak-tombak yang selalu siap di lontarkan. Kelompok Ahmadiyah adalah kelompok keyakinan yang terindoktrinasi demikian dalam, dari daging hingga ke sumsum tulang belakang, dari usus hingga titik hitam di biji mata pengikutnya. Bahkan matipun rela bagi pengikut kelompok Ahmadiyah ini. Mengapa selama ini pengikut Ahmadiyah terus bertambah dan meluas ? Tentulah pertanda bahwa ada ruang lapang bagi agen-agen mereka untuk berinteraksi dengan masyarakat. Masyarakat yang masih tak paham tentang "kesesatan" Ahmadiyah namun punya semangat religius yang tinggi serta haus akan pemimpin keagamaan yang bisa dijadikan panutan. Memang ada beberapa buku yang beredar di beberapa toko buku yang menjelaskan tentang perbedaan jalan Ahmadiyah dengan jalan Islam yang benar menurut paham Islam di Indonesia. Namun hanya berapa orang saja dari masyarakat kita yang mampu membeli buku, pergi ke toko buku, mau membaca buku, dan bisa membaca buku ! Sebagian besar rakyat di negeri ini, terutama di desa-desa dan di pemukiman marjinal perkotaan, memang tak mampu membeli buku bahkan buta huruf. Jangankan membeli buku, membeli beras dan menyekolahkan anak saja susah. Lari kemana uang utang negara ini ? Edukasi masyarakat mutlak diperlukan dalam penyelesaian kasus Ahmadiyah. Tokoh agama dan pemerintah (Ulama dan Umara) tak bisa tidak harus sehati-sejalan. Masyarakat harus dipenuhi haknya untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan pemahaman tentang hal-hal yang dianggap benar dan perlu. bentuk sederhana semisal buku-buku pegangan untuk idealisme, aliran agama, etika bernegara dan berkehidupan sosial hingga cara bertindak berwawasan lingkungan harus sampai di akar rumput secara gratis. Penyampaian informasi dalam bentuk media konvensional ini diperkuat dengan interkasi intensif dengan masyarakat, secara lisan dengan berbagai bentuk forum. Media massa elektronikpun hendaknya memegang pula kunci-kunci peran yang signifikan, jangan mencekoki masyarakat kita hanya dengan iklan dan sinetron serta acara horor saja ! Mengapa pula tak mencontoh metode penyebaran buku-buku pengayaan Departemen Pendidikan yang berisi berbagai bentuk berbagi pengalaman bersama SBY yang gratis hingga ke desa-desa ? Pasti bisalah mengikutkan satu saja buku tentang pengenalan organisasi-organisasi dan aliran-aliran sesat di Indonesia. Bisa jadi pula para pemimpin atau Imam-imam Ahmadiyah yang eksis di negara ini memang tak paham akan "kesesatan" aliran mereka. Jika hal ini betul, maka mengapa tak mengajak mereka untuk berdiskusi secara terbuka, beradu argumentasi secara intelek, cerdas tanpa emosi. Dialog-dialog terbuka bukan "tertutup" sudah membuktikan telah banyak menyelesaikan masalah. Apakah masih ada tokoh agama, tokoh pemerintahan dan tokoh intelektual yang masih bisa menahan diri untuk tidak berdebat "kusir" dan punya jalan fikiran arif-bijaksana di negeri ini ? Kalau tak ada lagi memang betul-betul parahlah negeri ini ! Contoh langkah-langkah di atas memang memerlukan pengorbanan tenaga, waktu dan niat baik yang kuat dari berbagai pihak. Namun pembelajaran demokrasi berbangsa dan bernegara memang memerlukan proses dan iklim yang kondusif untuk berjalan. Jalan panjang kehidupan berke-Indonesia-an membentang panjang jauh ke depan ! Mari kita tunggu keputusan jalur melawan arah dari rencana jalur Bis Kota untuk kelancaran transportasi Jakarta (aduh, yang ini mah laen !) ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- olahan gambar-gambar yang bersumber dari : Detik.com ; Kompas.com ; Suara-rakyat.com ; hizbut-tahrir.or.id ; kaskus.us
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H