Lihat ke Halaman Asli

Ivan Fauzi Hartanto

Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

Dunia Perkuliahan ketika Pandemi

Diperbarui: 9 Maret 2021   18:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Suatu ketika aku ditanya oleh salah seorang kakak tingkat. "Enak ya, sekarang kuliah dari rumah, ditinggal A B C, tiba-tiba sudah lulus saja". Sudah tidak kaget sih dengan pertanyaan semacam itu, karena setiap aku bertemu dengan kakak tingkat yang lain, aku selalu mendapatkan pertanyaan yang sama, seolah-olah aku harus mengatakan "ya" atas pertanyaan tersebut.

Faktanya Ferguso, tidak semudah itu. Institusi di mana saya saat ini belajar tentu telah memikirkan suatu kebijakan untuk mengimbangi 'new normal' ini. Dengan ditekankan pada standar yang harus sama, output SDM yang harus tetap memiliki kualitas terjaga, institusi tentunya telah membuat langkah yang strategis. Langkah tersebut yang paling saya rasakan adalah adanya pergeseran orientasi pembelajaran, dari yang awalnya banyak project pembelajaran di kelas, sekarang diharuskan belajar mandiri. 

Sebagai perbandingan, saya contohkan salah satu mata kuliah, yaitu Penilaian Sumber Daya Alam. Tahun lalu, pelaksanaan project penilaian dilakukan secara berkelompok (mungkin 4-6 orang), dengan objek penilaian yang telah dikoordinir oleh prodi, sehingga pelaksanaanya dilaksanakan secara berjamaah dalam suatu 'field trip' terkoordinir. Jika aku tidak salah, tahun sebelumnya dilakukan di salah satu taman nasional di Jawa Barat. Berhubung tahun ini mahasiswa dari seluruh Indonesia tidak diperbolehkan untuk membentuk massa, project dialihkan menjadi tugas individu, di mana kami diharuskan untuk mencari objek sendiri hanya bermodalkan selembar surat izin penelitian dari kampus. Wkkwkwk, jika boleh cerita, aku sampai pernah dimarahi salah satu satpam di salah satu perusahaan BUMN, karena mengajukan surat izin penelitian di masa awal pandemi (mungkin karena saat itu semua orang benar-benar sedang parno-parnonya kali ya). 

Contoh selanjutnya adalah ketika aku mendapatkan project di mata kuliah Penilaian Properti Komersial. Project ini merupakan project kelompok, dimana satu kelompok ada tiga orang. Nah, kebetulan banget salah satu kelompokku adalah temanku dari SMP dan notabenya masih satu kecamatan, sedangkan satu temanku yang lainnya adalah anak Medan. Awalnya kami ingin mencari perkantoran di daerah Malang, agar kami (setidaknya aku dan temanku ini) dapat mengunjungi secara langsung objeknya. Masalahnya, sulit sekali mencari bangunan perkantoran, terutama bangunan-bangunan high-risk-building yang ada di Malang Selatan. Akhirnya kami berpikir untuk mencari bangunan perkantoran yang ada di Jakarta (salah satu properti perkantoran dari Sinarmas Land yang ada di BSD). Kami memutuskan untuk menghubungi manajer dari kantor tersebut, namun... wkwkwk. Yah begitulah perjuangan. Kami seorang mahasiswa, tidak punya kewenangan untuk mengambil data perusahaan, dan tidak semua perusahaan memberikan data mereka, terutama di masa pandemi ini. Apalagi kalau data tentang finansial. Ditambah lagi, kami dari Penilai Jurusan Pajak di instansi milik Kementerian Keuangan, dimana objek sudah skeptis dulu sebelum kami menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. Sebenarnya ada banyak laporan-laporan keuangan di website-website keuangan seperti yahoo.finance atau bahkan di website perusahaannya. Namun, itu adalah laporan keuangan konsolidasi, bukan data laporan yang kami tuju. 

Bisa kalian banyangkan, sebenarnya ada hal-hal yang membuat belajar secara daring ini lebih sulit daripada belajar secara langsung di kampus. Selain kejadian-kejadian seperti itu, ada juga hal-hal yang menurutku kelemahan dari belajar di rumah ini. Tidak semua lingkungan rumah mahasiswa tempat yang nyaman untuk belajar, baik dari segi sarana dan prasarana, maupun dari sisi sosio-kultur. Saya ada beberapa cerita menarik dari teman-teman saya yang satu kampus dengan saya. 

1. Harus pergi keluar rumah, di kebun setiap ada kelas, karena sinyal buruk. 

2. Harus ke kantor desa 

3. Broken Home 

4. Krisis keuangan (orang tua terkena impact dari Pandemi) 

5. Orangtua yang sentimen terhadap anaknya yang di kamar saja (Dianggap tidak ngapa-ngapain dan malas, ini paling banyak sih) 

Secara umum memang cuma terbagi menjadi dua masalah sih, yaitu masalah sarpras (sinyal) dan masalah psikis (yang berasal dari permasalahan sosio-culture). Tetapi dengan standart yang sama yang diberikan oleh kampus, dengan "Momok DO" yang ada, dengan tugas yang menjadi 4 kali lipat, tentunya hal itu menjadi semakin pelik. Apalagi kita hampir kehilangan eksistensi kita sebagai makhluk sosial, tidak bisa curha dengan kawan yang memiliki persamaan nasib, tidak bisa belajar kelompok ketika mau belajar, tidak bisa tentir secara langsung (karena jujur, kegiatan yang dilaksanakan 100% dari layar HP itu rasanya tak ada bedanya dengan cari teman dari tinder, teman maya, pun kita sudah kenal lama, hambar).   

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline