Lihat ke Halaman Asli

Ivan DP

Freelancer

Tiongkok, Tjahaja Asia Baru atau Antjaman Asia Baru?

Diperbarui: 31 Mei 2024   13:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Demokrasi telah mati, seiring meraksasanya kuasa kapitalisme global. Kuasa bisnis telah menggantikan kuasa politik negara. Kuasa bisnis merampas habis negara, dan pebisnis jauh lebih berkuasa ketimbang politisi (Noreena hertz, 2004). Mau tidak mau sekarang dunia sedang melakukan persaingan dagang yang masif bahkan negara tiongkok yang diklaim komunis itu sedang mengupayakan perang dagang ini. Ambisi global Tiongkok, seperti yang dibahas dalam buku Noreena Hertz "The Silent Takeover", termanifestasi dengan jelas di Laut Tiongkok Selatan. Klaim teritorial yang luas berdasarkan "Garis Sembilan Putus" yang tidak memiliki dasar hukum, militerisasi, dan pembangunan infrastruktur ekstensif, mencerminkan strategi maritim Tiongkok untuk memperkuat kontrol dan memproyeksikan kekuatannya.

Tindakan Tiongkok ini membawa dampak negatif bagi negara-negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia, yang kehilangan akses ke sumber daya alam dan mengalami pelanggaran kedaulatan wilayah. Ketegangan yang meningkat dan risiko konflik di Laut Tiongkok Selatan mengancam stabilitas regional dan keamanan maritim di Asia Tenggara.

Walaupun secara militer Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya mungkin kalah dengan kekuatan raksasa seperti Tiongkok, kita memiliki beberapa instrumen penting untuk menjaga kedaulatan Laut Tiongkok Selatan dan kawasan maritim ASEAN.

Pertama, Badan Keamanan Laut (BAKAMLA) memainkan peran krusial dalam menjaga perairan Laut Tiongkok Selatan. Penguatan BAKAMLA melalui peningkatan teknologi, pelatihan personel, dan kerjasama antar negara ASEAN perlu terus dilakukan. Patroli maritim yang konsisten dan penegakan hukum di laut menjadi kunci untuk mencegah pelanggaran kedaulatan dan aktivitas ilegal di wilayah tersebut.

Kedua, diplomasi kapitalisme, seperti yang dibahas oleh Noreena Hertz, dapat menjadi strategi efektif untuk mengimbangi kekuatan Tiongkok. Dengan menjalin kerjasama ekonomi dan perdagangan yang saling menguntungkan, Indonesia dan ASEAN dapat membangun interdependensi dan mengurangi risiko konflik. Kerjasama ini bisa difokuskan pada bidang-bidang seperti maritim, infrastruktur, dan investasi.

Ketiga, memperkuat solidaritas dan kerjasama antar negara ASEAN sangatlah penting. ASEAN harus bersatu dalam menghadapi klaim maritim Tiongkok dan bekerja sama untuk mencari solusi damai melalui dialog dan negosiasi. Mekanisme seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS) dapat dimanfaatkan untuk mendorong kerjasama regional dan membangun kepercayaan antar negara.

Kombinasi antara kekuatan maritim BAKAMLA, diplomasi kapitalisme, dan kerjasama ASEAN yang kuat dapat menjadi strategi efektif untuk menjaga kedaulatan Laut Tiongkok Selatan dan stabilitas kawasan. Penting untuk diingat bahwa solusi damai dan dialog harus selalu menjadi prioritas utama dalam menyelesaikan sengketa maritim di Laut Tiongkok Selatan.

Kesimpulannya adalah Laut Cina Selatan bukan sekedar hamparan air asin biasa, tapi medan pertempuran ambisi global, persahabatan antar negara, dan pertarungan ideologi. Di sini, raksasa Tiongkok memamerkan kekuatannya, ASEAN menguatkan solidaritasnya, dan Pancasila menjadi kompas penunjuk arah. Masyarakat sipil pun tak mau kalah, bersatu untuk menjaga kedaulatan dan perdamaian. Mari jadikan Laut Tiongkok Selatan bukan arena pertikaian, tapi lautan yang mempersatukan dan memakmurkan, berlandaskan semangat Pancasila yang luhur.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline