Melalui Departemen Sosial (Sekarang Kementerian Sosial), Program Keluarga Harapan (PKH) telah hadir sejak 2007 yang berarti melewati tiga kali pergantian presiden dan berkonotasi positif terhadap pembangunan kualitas manusia Indonesia.
Pembangunan manusia yang akan menjadi sorotan pada RPJMN tahun 2019-2024 justru sudah dilakukan oleh PKH lebih dari satu dasawarsa yang mengartikan bahwa PKH sudah mendarah daging dalam upaya proses mendukung fokus pemerintah dalam pembangunan sumber daya manusia.
Tinggal bagaimana pemerintah yang baru nanti mengelaborasi PKH dengan elemen-elemen program pemerintah lainnya, agar sistem perlindungan sosial mampu mengefisienkan kerja pemerintah, sehingga kinerja kesuksesan PKH terus melesat.
Ke depan, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita menyebutkan bahwa keluarga penerima manfaat (KPM) PKH mulai tahun 2019, penyalurannya akan memperhatikan beban tanggungan keluarga yang dibagi ke dalam 7 komponen, yakni ada ibu hamil, ada anak dengan pendidikan SD, SMP, SMA, ada lansia, ada penyandang disabilitas dalam sebuah keluarga dan maksimal hanya menerima 4 komponen dan besarannya tergantung pada subjek penerima dan wilayah (Pikiran Rakyat, 13/12/2018). Peran pendamping sangat vital untuk memastikan bahwa PKH berjalan sesuai "harapan" yang diinginkan.
Secara makro, program PKH telah melibatkan KPM sebanyak 3,5 juta dan meningkat signifikan pada tahun 2018 menjadi 10 juta KPM dan diperkirakan hingga tahun 2020 sebanyak 15,6 juta KPM. Berita baik ini akan menoreh pembangunan bonus demografi yang pada akhirnya membuka asa bagi keluarga yang tadinya berada dalam ekonomi lemah, memiliki kemampuan untuk membekali dan menafkahi keluarganya lebih baik.
Sistem yang baik ibarat bibit yang akan menumbuhkan benih yang baik pula dan berpengaruh kepada bagaimana sistem ekonomi Indonesia turut ditopang sistem perlindungan sosial yang hebat. Namun analisa pemerintah tersebut masih mekanis dan merujuk angka, belum faktual merujuk secara organis unit-unit (Keluarga Penerima Manfaat) di tingkat kabupaten/kota yang telah secara mandiri mampu membagi atmoster keberhasilannya pada keluarga yang lain.
Logika publik yang terbangun, jika pemerintah terus menerus memberikan bantuan sosial terhadap orang miskin, dan dalam jumlah yang sangat fantastis, membuktikan bahwa sistem perlindungan sosial akan terkesan politis, dan tidak mengedukasi daerah membangun daerahnya secara mandiri.
Tidak Cukup dengan Gini Ratio
Kemiskinan yang berkaitan erat dengan pengangguran tidak cukup merta diselesaikan dengan pengadaan lapangan pekerjaan, tanpa memperhatikan jaminan kesehatan dan akses pendidikan yang mumpuni. Peran PKH secara kultural telah mengedukasi masyarakat untuk menjalankan kewajiban sebagai KPM memberikan makanan bergizi dengan memanfaatkan pangan lokal, dan perawatan kesehatan minimal satu kali dalam satu tahun terhadap anggota keluarga lanjut usia mulai dari 70 (tujuh puluh) tahun, dan meminta tenaga kesehatan yang ada untuk memeriksa kesehatan, merawat kebersihan, mengupayakan makanan dengan makanan lokal bagi penyandang disabilitas berat (kemsos.go.id).
Secara horizontal, PKH hendak membangun integrasi bagi masyarakat untuk "naik kelas" ke level kehidupan yang lebih baik. Dengan membangun investasi pada kesehatan dan pendidikan, memicu masyarakat berhasil lebih cepat dalam beradaptasi dengan perubahan yang terus membaru. Untuk apa berpendidikan jika kesehatan tidak memadai, atau sehat namun tidak mampu menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya.
Pada dasarnya, turunnya angka ketimpangan atau gini ratio sebesar 0.004 poin pada tahun 2018 menjadi 0.389, dibandingkan tahun 2017 sebesar 0.393 menjadi prestasi pemerintah. Namun kalkulasi umum ini menjadi sia-sia, jika tidak dibreak-down hingga kabupaten/kota untuk kemudian diketemukan apakah sejak 2007 hingga 2018, tren ketimpangan semakin menurun atau tidak stabil.