Lihat ke Halaman Asli

MUHAMMAD IVANA PUTRA

Akademisi yang mengamati gejolak kehidupan berbangsa dan bernegara, menulis untuk sudut pandang kedepan dan merangkum peristiwa dimasa lalu.

''Kami Dengar dan Kami Taat'' Identitas Gresik sebagai Kota ''Santri'' yang ''Manut Kyai''

Diperbarui: 1 Agustus 2020   23:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kota Gresik yang mendapatkan julukan sebagai Kota Santri, sangat memberikan implikasi terhadap identitas masyarakat Kota Gresik dalam berbagai aspek sosial kehidupan.

Pengaruh eksistensi Gresik sebagai Kota Santri sampai saat ini tidak hanya sebatas slogan yang menjadi fenomena “City Branding”, tetapi juga sudah menjadi bagian dari kultur-kultur kearifan lokal dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial masyarakat Gresik. Sehingga makna dan nilai “santri” yang seharusnya hanya melekat pada pelajar-pelajar yang belajar agama islam pada pondok pesantren, kini menjadikan nilai tersebut juga dilekatkan kepada setiap individu masyarakat Gresik yang mayoritas beragama islam.

Atas hal tersebutlah seharusnya menjadikan masyarakat Gresik turut andil dalam memiliki sikap dan budaya yang mecerminkan sikap seorang santri. Salah satu sikap santri yang dapat kita jadikan “spirit” identitas sosial masyarakat Gresik, adalah sikap taatnya seorang santri kepada Kyai dalam hal menimba ilmu di Pondok Pesantren.

Sikap taat atau dalam bahasa jawanya “manut” kepada Kyai ini, merupakan implementasi dari ajaran agama islam “sami’na wa athona” yang berarti “kami mendengar dan kami menaatinya”, selagi hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran syariat islam.

Bentuk ‘’sami’na wa athona’’ terhadap Kyai tidak hanya berlaku seperti ketaatan murid terhadap guru saja, namun bagi masyarakat/umat dengan kultur tertentu, juga memiliki prinsip ‘’sami’na wa athona’’ terhadap Kyai/ulama yang dianggap sebagai seorang pemimpin.

Sebab Kyai/Ulama sendiri adalah orang yang memiliki kharismatik dan dalam segi spritiual keagaaman, selalu   memberi keputusan yang penuh pertimbangan, utamanya bagi kepentingan umat/masyarakat banyak.

Dalam catatan sejarah, salah satu bentuk contoh ketegasan santri maupun masyarakat islam pada umumnya untuk taat terhadap perintah Kyai (“manut Kyai”), dapat dilihat pada peristiwa Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.

Dahsyatnya perjuangan santri-santri pesantren dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan terhadap sekutu tentara Inggris dan NICA untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, tidak lepas dari seruan-seruan maupun fatwa para Kyai/Ulama yang mereka patuhi dan taati.

Sebagaimana tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1945, Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari selaku komando tertinggi Hizbullah telah mengeluarkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah dengan memerintahkan seluruh kalangan santri untuk berperang di Surabaya, demi mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Setidaknya dengan adanya Resolusi Jihad Fii Sabilillah di Surabaya, hal tersebut turut mengerakan seluruh laskar-laskar, pemuda-pemuda dan santri-santri dari luar Surabaya, seperti ; Gresik, Malang, Jombang dan sekitarnya yang turut andil bertempur melawan sekutu.

Perang agung di Surabaya tersebut menjadi bukti, bahwa santri harus taat (‘’manut’’) terhadap Kyai, meskipun harus berkorban nyawa demi mempertahakan kemerdekaan Negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline