Suatu hari di Madrasah Thawalib Parabek. Bersama beberapa teman, saya mendatangi tempat itu untuk mendigitalisasikan beberapa koleksi lama madrasah yang terkenal itu. Sebagian besar buku masih tersimpan baik di perpustakaan. Keadaan perpustakaan amat baik dengan ruang luas dan nyaman. Yang menyedihkan justru kisah yang disampaikan seorang guru tentang nasib buku koleksi seorang alumni sekolah itu.
Seorang alumni sekolah ini telah menjadi pengusaha yang berhasil. Beliau juga dikenal sebagai penulis yang telah menerbitkan banyak buku tentang Islam dan pengetahuan umum. Sebagai pengusaha yang penulis, beliau memiliki banyak sekali koleksi buku. Koleksi itu ditaruh rapi dalam tiga lemari besar yang diberi kaca di bagian depannya. Lemari itu ditaruh di ruang pribadi beliau.
Koleksi terbanyak berupa kitab-kitab klasik berbahasa Arab terbitan Timur Tengah. Selain koleksi itu, juga terdapat koleksi dalam Bahasa Inggris dan Perancis. Beberapa tahun setelah alumni itu meninggal, keluarganya ingin mewakafkan buku koleksi ayah dan kakek mereka ke Madrasah Thawalib Parabek, tempat beliau dulu pernah menuntut ilmu.
Tentu saja pengurus madrasah amat gembira mendengar niat itu. Beberapa guru dan pustakawan ditugaskan untuk menjemput buku-buku wakaf ke Jakarta, kota tempat alumni itu terakhir tinggal. Begini kisah mereka pada saya tentang perjalanan itu.
"Alangkah senangnya hati kami menyaksikan tiga lemari besar penuh buku. Buku-buku tebal dengan kulit terbuat dari kulit kibas atau karton tebal. Semua tersusun rapi. Bagi kami para pustakawan, tentu saja ini harta yang tak ternilai. Karena buku-buku itu merupakan rujukan utama untuk belajar agama dan bahasa Arab. Maka lemari itupun kami buka.
Dengan hati-hati, saya ambil sebuah buku tebal. Aneh, buku itu terasa ringan. Begitu saya angkat, ternyata bagian dalamnya tertinggal. Hanya kulit buku yang terangkat dan bisa dipegang. Lebih hati-hati lagi, saya ambil kertas buku itu. Alangkah kagetnya saya, ternyata kertas itu telah hancur. Hancur seperti dimakan bubuk.
Anak dan cucu pemilik buku tak kalah kagetnya menyaksikan hal demikian. Dengan perasaan cemas dan hati-hati, kami memeriksa satu per satu buku dalam ketiga lemari itu sehari penuh. Hasilnya, lebih dari 75 persen buku kileksi itu telah hancur. Di bagian luarnya terlihat kuat dan rapi, tapi isinya sungguh telah hancur. Kami semua tercenung menyaksikan seribuan buku yang puluhan tahun dikumpulkan kakek mereka, kini hancur jadi serpihan kertas tak berguna.
Kenapa bisa terjadi? "Sebagai ulama dan penulis, koleksi utama Kakek adalah kitab berbahasa Arab. Sementara kami, anak dan cucunya, tak ada yang bisa berbahasa Arab. Tak seorang pun yang sekolah di pesantren dan madrasah. Tak ada yang bisa berbahasa Arab. Lemari buku itu hanya kami lap saja, tak pernah dibuka. Bertahun tahun buku itu hanya dipajang tanpa disentuh", jelas seorang keluarga.
Ditaruh di bagian dalam rumah, tak terjangkau sinar matahari, dan tidak pernah dibuka sama sekali. Itulah yang menyebabkan koleksi itu hancur. Di atas semuanya, tentu saja, ketidakpedulian dari ahli warisnya.
Keluarga pemilik koleksi sedih melihat buku peninggalan kakeknya yang hancur. Kami tentu lebih sedih lagi. Juga kecewa, karena sudah datang jauh-jauh hanya untuk menyaksikan tiga lemari koleksi buku yang tak hancur terawat".
Semoga kisah sedih dari dunia pengetahuan ini tak menimpa kita semua. Salam lebaran.