Pelalawan: Penduduk Asli dan Pendatang Kabupaten Pelalawan tempat dimana saya tinggal sekarang sungguh unik dan penuh warna. Kabupaten hasil pemekaran wilayah dari Kabupaten Kampar yang beribukota di Kecamatan Pangkalan Kerinci ini mayoritas penduduknya adalah para perantau. Transmigran tahun 1980an dari Pulau Jawa, perantau dari Sumatra Barat, dan penduduk asli suku Melayu berasimilasi menjadi satu membangun sebuah kawasan baru yang berkembang pesat dari segi perekonomian. Komoditas utama dari daerah ini adalah kelapa sawit yang banyak diusahakan oleh petani-petani sawit para transmigran dari Pulau Jawa yang dinaungi oleh beberapa perusahaan pengolahan kelapa sawit seperti Indo Sawit dan Asian Agri. Selain itu terdapat satu pabrik pengolahan kertas berskala internasional yakni PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Sebuah perjalanan untuk mensurvei ke beberapa calon debitur di kawasan ini bersama beberapa rekan memberikan saya banyak insight tentang peradaban di kabupaten ini. Bang Sigit, seorang associate account officer BRI, dan Pak Tengku, petugas di Dinas Peternakan Kab. Pelalawan, banyak bercerita mengenai asal usul kawasan ini. Beliau-beliau ini banyak bercerita tentang asal usul daerah, mulai dari penduduk asli pada jaman Belanda, ‘invasi’ para transmigran Jawa, hingga kehidupan di Pelalawan saat ini. Penduduk asli kawasan ini adalah suku Melayu. Pada jaman penjajahan Belanda, suku Melayu yang mendiami kawasan ini mendapatkan banyak ‘privilege’ dari penguasa saat itu. Tak seperti masyarakat Jawa dan beberapa bagian Sumatra lainnya yang disiksa dengan berbagai macam sistem cultursteelsel, suku Melayu disini cukup dimanjakan oleh kaum penjajah. Konon hal tersebut dikarenakan para bangsawan Melayu lebih memilih untuk menjadi ‘sahabat’ penjajah dibanding menjadi pemberontak. Dilain sisi, penjajah pun takut untuk ‘menjajah’ suku Melayu di kawasan Riau ini karena takut kehilangan sumber minyak bumi utamanya di Dumai. Cocoklah sudah koalisi penjajah dengan suku Melayu ini. Masa ‘penjajahan’ oleh Belanda yang sangat lama yakni 3,5 abad, sedikit banyak membentuk karakter orang Melayu menjadi kurang suka bekerja terutama para bangsawannya kala itu. Ditambah dengan kekayaan alam Riau yang melimpah, masyarakat Melayu Riau tak perlu bekerja keras untuk dapat hidup mewah. Kebiasaan tersebut susah diubah sampai-sampai pemerintah Hindia Belanda harus memberikan insentif pada para penduduk beruapa uang hanya untuk sekedar menebang pohon. Kebiasaan itu juga terbentuk dari cara suku Melayu ini mencari nafkah. Berbeda dengan suku Minang yang giat berdagang, dan suku Jawa yang giat berkebun, orang Melayu lebih suka menjual hasil bumi (eksplorasi hasil bumi) seperti karet, rotan, kayu, dll. Hasil bumi tersebut dijual ke Singapura melalui jalur sungai - laut dan oleh karenanya bisnis Kapal Tongkang sangat berkembang di kawasan ini. Eksploitasi alam diiringi kebiasaan ‘manja’ suku Melayu menimbulkan natural resource curse bagi mereka. Orang Melayu yang tidak pandai berkarya pun semakin lama semakin tersingkir dari kawasan ini, terlebih tersingkir oleh orang Minang dan transmigran Jawa yang sukses. Oleh karena nya, para ‘Wan’ dan ‘Tengku’ di Pelalawan ini membentengi dengan tinggi sektor Pemerintahan daerahnya dari suku-suku pendatang. Transmigran Jawa Di Kabupaten Pelalawan ini juga merupakan salah satu kawasan program transmigrasi yang dilakukan Pemerintah pada akhir 1980an. Transmigran yang mendiami kabupaten ini mayoritas berasal dari pulau Jawa. Para transmigran pada kala itu dibekali satu rumah papan dan pekarangannya serta satu hektar perkebunan kelapa sawit per rumah tangga. Karena faktor alam dan geografis seperti panas, tandus, debu, susahnya mencari air bersih di kawasan ini, banyak transmigran yang tidak betah dan pulang kembali ke asalnya. Kebun dan rumah ‘jatah’ transmigrasi pun dijual ke sesama transmigran yang memilih bertahan di kawasan ini. Kehidupan susah dan kelaparan pun menghantui para transmigran di Kabupaten ini. Tak gentar dengan itu semua, banyak penduduk transmigran yang sukses saat ini. Salah satu contok kisah sukses tersebut dapat dipetik dari seorang debitur BRI bernama Bapak Rab Sugianto ini yang sangat menginspirasi. Bapak Rab Sugianto bertransmigrasi ke Riau bersama dengan beberapa penduduk yang berasal dari Kecamatan Prambanan Jogjakarta. Bersama dengan istrinya, beliau berangkat dari kampungnya ke Provinsi Riau dengan menempuh jalan darat selama lima hari lima malam. Pada waktu itu pemerintah memberikan rumah dan kebun bagi para transmigran dengan cuma-cuma sehingga transmigran yang mayoritas berlatar belakang petani ini dapat mengolah tanah pemberian tersebut. Sampai di tempat tujuan transmigrasi, Pak Rab yang seorang petani ini terkejut dengan kondisi alam tempat tujuan transmigrasinya yang sangat tandus. Kekhawatiran pun terjadi, tanah pekarangan rumah Pak Rab benar-benar tidak dapat digunakan untuk bercocok tanam. Tak hilang akal, Pak Rab kemudian menanami kebunnya dengan tanaman sawit, tanaman yang cocok untuk daerah tandus seperti Pelalawan ini. Awal kehidupan para transmigran di Pelalawan ini sungguh memprihatinkan. Dengan minimnya pasokan bahan makanan yang dapat diproduksi secara lokal dan masa tunggu panen sawit sejak ditanam hingga berbuah yakni kurang lebih enam tahun, masyarakat pun hanya dapat mengandalkan hasil hutan untuk terus bertahan hidup. Banyak yang menyerah, namun tidak sedikit yang terus berjuang dan bekerja keras. Salah satunya adalah Pak Rab Sugianto yang memilih untuk tetap tinggal walaupun banyak rekannya kembali ke kampung. Sedikit demi sedikit kebun sawitnya digarap. Keuntungan dari penjualan TBS pun ditabung oleh beliau untuk membeli kapling-kapling kebun sawit yang ditinggal pulang oleh rekannya. Satu per satu kapling kebun sawit nya terbeli dari jerih payah Pak Rab. Dan tidak seperti petani lain, Pak Rab selalu memupuk lahan sawitnya sehingga kesuburan tanah tetap terjaga dan hasil TBS sawit pun melimpah. Pada akhirnya, semua kerja keras tersebut terbayar. Dalam kurun waktu kurang lebih 25 tahun dari masa transmigrasi, para transmigran tersebut dapat menikmati buah perjuangan mereka. Ditengah usia pohon sawit yang berada pada masa puncak produksinya, didukung dengan harga jual sawit (TBS) yang relatif tinggi, Pak Rab dan teman-temannya dapat menikmasi hasil kerja keras mereka. Rumah bak istana, mobil bermerk Pajero, Fortuner, maupun Harrier, ataupun 20 kapling kebun sawit pun menjadi milik para penakluk transmigrasi. Pak Rab yang awalnya sangat pesimis untuk dapat hidup di daerah ini, sekarang dapat tersenyum lebar menatap semua hasil jerih payahnya. Kebun Sawit Pak Rab Sugianto Salam, I.R
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H