Disadari atau tidak, dalam lingkungan masyarakat dengan tingkat kepercayaan (trust) yang rendah, konsekuensi yang timbul adalah rasa saling curiga dan prasangka besar yang pada akhirnya menipiskan dukungan diantara mereka.
hiruk pikuk situasi politik, hukum dan social 2014 di Indonesia seakan tak kunjung usai. polemic sambung-menyambung, bercampur-aduk dan melebar kearah yang tidak terduga. secara terang-benderang bisa dilihat dari pengalaman proses pilpres 2014 yang lalu hingga perang pendapat RUU pemilihan kepala Daerah Oleh DPRD.
ambisi-ambisi elit politik turut medorong tumbuh suburnya situasi ketidakpercayaan masyarakat terhadapa para elit politik tanah air. Lepas dari asumsi acrobat politik, keberanian kader partai politik yang menjadi kepala daerah untuk menentang RUU pemilihan kepala daerah oleh DPRD yang berseberangan dengan aspirasi parpol pendukunya dan dibalas dengan sanksi pemecatan merupakan contoh berseminya katidakpercayaan tersebut.
saling pecat antara ketua umum parpol dengan pengurus separtai merupakan bentuk ketidakpercayaan (distrust) yang parah. masyarakat awam sebenarnya menertawakan semua “logika bengkok” dan tingkah-polah mereka yang melabelkan diri sebagai “wakil Rakyat” ini.pertanyaanya: apakah kondisi tersebut menunjukan memang ada yang salah dengan sistem politik, hukum, sosial, dan ekonomi yang sudah dibangun? Bukankah sistem-sistem tersebut diciptakan Pemerintah atas dasar kepercayaan yang diberikan masyarakat? Apakah harapan masyarakat atas hak-hak mereka dapat dijamin dan dilindungi melalui kedaulatan Pemerintah? Seolah yang sedang terjadi saat ini adalah “pembiaran” kelompok masyarakat mayoritas menekan kaum minoritas. Benarkah?
Seringkali penulis mendengar bahwa praktik hukum di Indonesia berada dalam kondisi darurat yang mengkhawatirkan. Bahkan dalam kampanye-nya para Capres Indonesia saat itu tidak segan menunjuk hidung mafia hukum sebagai biang kerok carut-marutnya hukum Indonesia. Celaka duabelas, selain kondisi ketidakpercayaan praktik hukum, ekonomi Indonesia-pun terjangkit gejala ketidakpercayaan tersebut. Sistem hukum yang rusak telah menumbuh suburkan kesempatan oknum menggelapkan pajak, menyalahgunakan kewenangan untuk korupsi dan memeras dan oknum penebar janji investasi bodong. Penggunduran diri salah satu Dirut BUMN terkemuka Indonesia seolah kembali memunculkan kegundahan bahwa pengelolaan BUMN Indonesia masih belum benar-benar terbebas dari intervensi legislatif dan eksekutif yang sekaligus yang merupakan bentuk “ketidakpercayaan” mereka terhadap jajaran Direksi BUMN dalam menjalankan roda bisnis secara profesional.
Kepercayaan masyarakat kepada Pemimpinnya sebenarnya telah tercermin pada proses Pilpres 2014. Jauh sebelum menjadi Presiden terpilih, terlepas dari anggapan pencitraan, Jokowi telah dapat meraih kepercayaan masyarakat melalui semangat kerja secara nyata membawa Surakarta dan Jakarta menjadi lebih baik. Demikian pula Prabowo yang menjadi pesaing berat Jokowi. Terlepas dari isu keterlibatan kasus penculikan mahasiswa 1998, dengan citra gaya tegas bersemangat dan meledak-ledak, masyarakat juga percaya bila dipimpin olehnya, Indonesia tidak akan dengan mudah dilecehkan harga diri dan kedaulatannya dihadapan negara-negara asing.
“Indonesia menjadi macan Asia” telah mendapat simpati dan kepercayaan masyarakat. Hanya kemudian kepercayaan masyarakat tersebut terejawantahkan kedalam bentuk yang berbeda. Untuk Jokowi, masyarakat memilih bentuk partisipasi secara suka rela tanpa bayaran (relawan) sedangkan ke Prabowo tampaknya kepercayaan tersebut cenderung terorganisasi secara hirarkis tertata selayaknya organisasi kemiliteran.
Sebagai panglima, aspek hukum tampaknya harus meningkatkan peran sebagai alat kontrol yang paling efektif dalam kehidupan bernegara. Pembentukan berbagai badan, forum dan komisi penegak hukum seharusnya dapat makin mempertebal kepercayaan massyarakat. Berbagai badan tersebut harus dapat menyederhanakan birokrasi hukum guna memperkecil kemungkinan praktik korupsi yang ditengarai juga dilakukan oleh para mafia hukum. Kepercayaan masyarakat pada sistem hukum berkorelasi positif terhadap kepatuhannya terhadap hukum, percaya bahwa haknya sebagai warga negara diakui.
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengontrol semua aktivitas lembaga bank dan non bank harus bisa semakin mempertebal keyakinan masyarakat bahwa uang yang dititipkelolakan kepada lembaga-lembaga tersebut dapat berkembang dan aman. Penggunaan teknologi dan informasi dalam tata kelola bank yang mengarah pada branchless banking harus semakin mendapatkan kepercayaan untuk menciptakan good corporate govermance. Transaksi keuangan nontunai (cashless financial transaction) akan semakin banyak digunakan untuk meningkatkan level akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat bahwa transaksi telah dilakukan secara fair.
Momentum Pilpres 2014 yang telah selesai, dapat dijadikan titik awal untuk kembali memupuk kepercayaan masyarakat terhadap seluruh aspek kehidupan bernegara. Hiruk pikuk yang tampaknya sengaja dihempuskan harus segera berakhir. Janganlah kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah baru diganggu oleh para anasir politik yang tidak terpenuhi hasrat berkuasanya. Berikan kepercayaan pada Pemerintahan baru mewujudkan janji kampanye untuk kerja.. kerja.. dan kerja.
Memang tidak tertutup kemungkinan muncul anggapan bila pihak yang kalah dalam Pilpres Indonesia 2014 diharapkan legowo, maka sekarang tiba giliran pihak yang menang Pilpres tersebut diharapkan legowo kepada pihak yang menguasai parlemen. Kalau kondisi tersebut terus terjadi, meminjam bahasa gaul anak muda sekarang maka komentarnya: “capek deh.. woles aja keles..” (baca: capek ah.. selow aja kali.. atau kalem saja..)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H