Lihat ke Halaman Asli

Muslihat, Topeng Penguasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Muslihat, Topeng Penguasa

“Apa yang ada tidak berarti apa yang seharusnya ada” (David Hume) pernyataan dari Hume yang mempunyai implikasi yang sangat kritis untuk melihat segala sesuatu secara baik, benar,adil dan tentu mengedepankan prinsip kemanusiaan, dan tidak hanya pasra pada apa yang ada.Fakta mempertontonkan kepada kita berbagai kasus korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah. Atau berbagai masalah kesembrawutan yang terjadi di daerah yang kemudian disulap ketika seorang petinggi negara akan datang di daerah tersebut. Salah satu fakta menarik adalah pra kedatangan SBY di dua kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, pemerintah setempat kemudian secara sigap menyulap kota dan seputaran jalan yang rencananya akan dilalui oleh presiden dengan perbaikan jalan, pembersihan oleh pemda, penertipan, dan pengamanan. Semua ini dilakukan hanya dengan satu alasan “agar tamu terhormat merasa gembira (ABS) melihat kota yang telah disulap menjadi kota yang bersih. Tentu saja kita tidak mugkin serta merta mengatakan “apa yang dilakukan itulah yang seharusnya”. Karena dengan demikian kita sedang membiarkan penguasa kita dikendalikan oleh apa yang disebut oleh plato thumos dan epithumianya (thumos adalah lambang untuk harga diri yang hanya menghasrati kebanggaan, sedangkanepithumia adalah hasrat untuk nafsu rendah yang hanya menghasrati soal makan minum/uang. Tidak lagi dikendalikan oleh logistikon (rasio). Pernyataan Hume menjadi kritikan keras sekiranya kita membiarkan apa yang terjadi menjadi apa seharusnya ada.

Tidak salah ketika seorang warga secara berseloroh mengatakan “sekiranya presiden SBY tiap minggu datang di daerah, maka tidak akan ada lagi jalan yang rusak karena segera akan ditambal, tidak akan ada lagi sampah berserakan karena akan segera diangkut, got yang selama ini kotor dan bau segera dibersikan, pasar tiap minggu akan ditutup/dipindahkan ke hari yg lainsesuai selera penguasa untuk menyambut tamu terhormat, pinggir jalan yang dilalui oleh bapak presiden akan segera di buat seindah mungkin, sehingga apapun milik warga yang dianggap merusak pemandangan akan dipaksa untuk dikeluarkan demi menyenangkan hati sang presiden”.Logika sederhana ini tentu saja mau menyampaikan pesan, bahwa aparat pemda hanya bekerja ketika ada tuan yang akan melihat pekerjaan mereka. Moral pemerintah yang sepeti ini tentu saja menjadi sebuah tanda tanya besar, apakah demokrasi yang kita bangun untuk melayani rakyat atau untuk melayani si tuan besar?

Belum lagi ketika melihat kondisi psikologi warga yang seolah-olah dibuat mencekam, khusunya mereka yang berada dipinggir jalan. Seolah olah mereka diminta untuk berhenti dari segala aktivitas mereka pra kedatangan bapak presiden. Situasi yang justru menjadi kontroversial karena rakyat seolah olah dikondisikan untuk takut pada pemimpinnya.Tidakka komunikasi yang baik ketika pemimpin melihat kehidupan rakyatnya secara natural dan tanpa manipulasi. Tindakan –tindakan bertopeng justru memperlihatkan kepada kita sikap politik pemimpin daerah yang machiavellian.

Muslihat, topeng penguasa untuk memperlihatkan kepada orang nomor satu di Indonesia ini sebuah keramahan dan keindahan kota yang dibungkus dengan kemunafikan adalah sunguh tidak ber-moral. Kita seperti diingatkan pada masa orde baru situasi aman yang dibungkus oleh tirani. Sebuah situasi yang kelihatan aman tetapi didalamnya penuh dengan pelanggaran kemanusiaan. Kita tentu tidak ingin situasi ini terulang, karena mereka yang dibiayai oleh rakyat bekerja untuk rakyat dan bukan untuk para tuan. Negara kita bukan negara tirani yang bekerja hanya untuk kepentingan satu orang, negara kita juga bukan oligarkhi, yang dikuasai oleh beberapa orang dan bekerja untuk keuntungan golongan tertentu,negara kita adalah negara demokrasi, di mana pemimpin kami dipilih oleh rakyat dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Bukan pemerintahan demokrasi dalam arti (Mob) pemerintahan oleh kerumunan massa beringas,vulgar, dan tidak becus. (demokrasi adalah pemerintahan oleh Demos. Demos,Yunani pertama bisa berarti rakyat (people) dan yang kedua adalah (mob) kerumunan rakyat beringas). Pertanyaan kita, jangan –jangan yang terjadi sekarang ini adalah kecenderungan pemerintahan demokrasi oleh (mob) kerumunan rakyat beringas.

Jika situasi pemerintahan demokrasi ini bergeser kepada rakyat beringas (mob), maka tidak salah jika kemudian apa yang ada memang seharusnya demikian. Bahwa ketika penguasa di daerah bertopeng dibalik kekurangan dan kekacauan yang ada hanya untuk memperlihatkan kepada presiden keindahan yang telah dimanipulasi. Maka sesungguhnya kita telah membuat negara dan rakyat tergelincir dalam anarki (negara yang hidup tanpa prinsip).

Pdt.Ivan Sampe Buntu




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline