Indonesia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang perubahan iklim Conference of Parties (COP) ke-22 atau COP-22 di Marrakesh, Maroko, pada 7-18 November 2016. COP-22 membahas pelaksanaan teknis dari Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim (Paris Agreement) COP-21 yang diselenggarakan tahun lalu.
Paris Agreement merupakan puncak upaya negosiasi satu dekade terakhir antar negara-negara PBB untuk pengaturan global upaya penurunan emisi dan pengendalian perubahan iklim. Paris Agreement sendiri telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016. Dalam upaya pengurangan emisi, Indonesia berkomitmen menekan emisi dari sejumlah sektor seperti dari lahan dan hutan 17,32%, energi 11-14%, sampah 0,38-1% dan industri 0,10-0,11%.
Event COP-22 mendapat sorotan luas karena untuk pertama kalinya seluruh delegasi menyetujui untuk mengurangi emisi karbon. Lebih dari 90 delegasi dari penjuru dunia berpartisipasi.
Konvensi tahunan tersebut menjadi milestone pembangunanberkelanjutan untuk menyepakati legally binding yang akan berlaku setelah tahun 2020.
Delegasi RI yang menghadiri COP-22 terdiri dari kementerian dan lembaga pemerintah antara lain: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar, Direktur Mitigasi Direktorat Jenderal Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawati, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Gubernur Kalimantan Barat Cornelis
Wakil dari pihak swasta yang telah berpartisipasi pada acara terkait COP-21 yaitu di ajang Global Landscape Forumdan Solutions COP-21 tahun lalu, juga akan tampil pada COP-22. Pihak swasta dari Indonesia salah satunya diwakili oleh Asia Pulp & Paper (APP) yang akan melaporkan proses bisnisnya sesuai dengan regulasi, berikut dengan segala kiprah perusahaan di tingkat regional dan internasional.
Cornelis yang tampil di Pavilyun Indonesia COP-22 Marrakesh, 8 November 2016, memaparkan upaya Kalbar dalam mengedepankan pembangunan hijau yang berbasis pada peran serta multipihak. Sinar Mas melalui APP menerapkan sistem pertanian dan kehutanan yang terintegrasi dengan memanfaatkan tanaman kehidupan untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat atau petani kecil yang yang hidup di sekitar konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Pada COP-21 tahun lalu, menandai titik puncak perjalanan APP selama lebih dari 3 tahun sejak diumumkannya Kebijakan Konservasi Hutan APP. Perusahaan mengklaim tidak menggunakan hutan alam sebagai bahan baku pulp dan kertas, melainkan hanya dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Dengan begitu perusahaan turut mendukung kelestarian hutan hujan alami yang masih dimiliki Indonesia.
Selain itu hadir pula Yayasan Belantara, sebuah lembaga non-profit inisiator sebuah program bernama DMPA. Program ini fokus di bidang agroforestri (wanatani) untuk memberdayakan masyarakat yang tinggal di wilayah hutan. DMPA ini merupakan bagian intergral dari proyek konservasi ekosistem hutan hujan yang berjalan beriringan dengan pembangunan ekonomi, sekaligus pencegahan kebakaran hutan berbasis komunitas lokal.
CEO Yayasan Belantara Agus Sari, terlihat tampil bersama Senior Partner Baker Mackenzie, Martijn Wilder dan Gubernur Kalbar Cornelis di Pavilyun Indonesia COP-22 Marrakesh.
Program DMPA yang dipaparkan Agus Sari, memiliki nilai investasi USD 10 juta sampai dengan tahun 2020, yang akan diimplementasikan di 500 desa dengan sebaran di 5 provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur ini.