Lihat ke Halaman Asli

Kemasan Makanan, Kenapa Harus Pilih yang Halal?

Diperbarui: 22 Oktober 2016   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Indonesia adalah bangsa yang besar, terdiri dari beragam suku dan budaya yang masing-masing memiliki jenis kuliner berbeda. Tak heran bisnis di bidang makanan dan minuman tumbuh semakin pesat yang didukung perubahan pola konsumsi masyarakat modern yang sibuk dan ingin serba praktis, misalnya untuk urusan makan dan minum.

Pelaku bisnis di bidang pangan ini terdiri dari berbagai level menurut besaran modalnya, antara lain usaha kecil hingga menengah ke atas. Namun bisnis level atas sekalipun tidak selalu menjamin pangan yang kita konsumsi itu benar-benar berkualitas bukan hanya estetika, melainkan juga higienitasnya harus terjamin. 

Salah satu faktor keamanan terhadap produk pangan adalah kemasan makanan (food packaging). Lazimnya di pasaran kita menjumpai bahan pembungkus dari kertas koran bekas, kertas nasi (terbuat dari kertas daur ulang), plastik, kantong kresek dan styrofoam/gabus.

Keamanan food packaging saat ini memang belum terstandarisasi oleh negara. Bisnis pangan secara umum hanya dijadikan sebagai komoditas yang berorientasi pada keuntungan semata, dan justru mengabaikan kepentingan konsumen untuk hidup sehat. Banyak orang menyadari kemasan makanan tersebut tidak aman karena mengandung bahan kimia berbahaya dan banyak bakteri patogen yang dapat mencemari produk pangan, tapi praktik penggunaannya terus saja berlanjut.

Perlu diketahui sampah bekas kemasan makanan dari plastik membutuhkan waktu 50-100 tahun sampai dapat terurai di dalam tanah. Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) menyayangkan sikap Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) yang memutuskan menghentikan uji coba penerapan plastik berbayar sejak 1 Oktober 2016.

Keputusan Aprindo ini menjadi suatu bentuk kemunduran terhadap upaya pelestarian lingkungan dan mendukung perilaku konsumtif masyarakat terhadap kantong plastik. Aprindo pun dinilai tidak punya komitmen untuk menyelamatkan lingkungan, karena bergantung pada paksaan berupa aturan dari pemerintah.

Sementara itu, styrofoam yang kerap kita gunakan sebagai bungkus makanan juga mengandung bahaya bagi kesehatan, karena senyawa seperti stirena (styrene) yang bersifat karsinogenik dapat berpindah ke makanan terutama saat terkena panas dari makanan.

Bahan styrofoam juga berbahaya bagi lingkungan karena tidak dapat terurai secara alamiah. Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil menyadari akan besarnya isu styrofoam, terutama pada sumbangannya terhadap sampah di Kota Kembang itu. Atas pertimbangan tersebut Pemerintah Kota Bandung  melarang penggunaan kemasan styrofoam mulai 1 November 2016.

Pelarangan dalam bentuk surat edaran ini bakal diterapkan secara bertahap dengan penunjukan beberapa kawasan sebagai pionirnya. Aturan larangan penggunaan styrofoam mengacu pada Peraturan Daerah K3 (Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan) serta Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.

Upaya yang dilakukan Pemkot Bandung seharusnya menjadi bahan refleksi bagi para produsen produk pangan di Indonesia agar lebih berpihak pada konsumennya. Caranya dengan memberikan kemasan pangan yang memenuhi beberapa syarat keamanan, antara lain:

  • Kemasan makanan tidak mengandung senyawa berbahaya seperti benzena, stirena (bahan baku styrofoam), dan jenis senyawa berbahaya lainnya.
  • Bebas dari kandungan bakteri, seperti yang banyak ditemukan di dalam bahan baku kertas daur ulang. Dua jenis kertas daur ulang yang paling sering kita temui sehari-hari yaitu ONP (old newspaper/old news print) atau kertas bekas koran cetak dan fotokopian yang banyak dijadikan sebagai bahan baku kemasan makanan dalam bentuk boks, dan OCC (old corrugated containers) atau kertas bekas karton boks banyak digunakan sebagai kertas pembungkus makanan atau sering disebut kertas nasi. Sebelum diproses di pabrik, ONP dan OCC ditumpuk di area terbuka yang langsung terpapar terik matahari, debu, kotoran, hingga air hujan, dan pembuatannya tidak melewati proses sterilisasi.
  • Kemasan harus ramah lingkungan, dapat terurai dengan mudah di alam bebas, misalnya seperti dari bahan dasar serat alami (virgin fiber).

Ketiga syarat ini harus dipenuhi oleh produk kemasan makanan yang berlabel food grade, yaitu suatu material yang memenuhi syarat digunakan untuk memproduksi perlengkapan makan. Ciri-cirinya adalah berwarna putih, tidak berbintik, tahan panas dan tidak tembus minyak karena mengandung lapisan yang aman untuk pangan. Salah satu brand asli di Indonesia yang memiliki teknologi seperti ini adalah Foopak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline