Lihat ke Halaman Asli

Inilah Sineas-sineas Muda Indonesia yang Mencuri Perhatian Dunia

Diperbarui: 7 Oktober 2016   14:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi film Indonesia. Source: shaolinchamber36.com

Film sebagai salah satu medium seni paling universal tampaknya memang belum menjadi sarana optimal dalam mengungkap jati diri kita. Sampai dengan hari ini, arus utama sinema Indonesia masih dihiasi oleh karya-karya superfisial yang lebih mengedepankan unsur hiburan dengan ditaburi bintang-bintang layar bermodalkan paras elok dan rupawan semata. Kualitas teknik dan eksplorasi tema cerita masih kerap menjadi perhatian nomor sekian.

Akan tetapi, selalu saja ada nama-nama yang bergerak di luar arus utama. Mereka lebih nyaman menempuh jalur alternatif yang mungkin tak seramai jalur utama, namun bukan berarti mereka dapat diabaikan begitu saja. Bahkan, sorotan perhatian datang dari pihak-pihak luar yang memandang karya mereka sebagai gerbang dalam memahami entitas mahapelik bernama Indonesia.

Mereka inilah sineas muda (belum ada yang menyentuh 40 tahun) sekaligus sosok pembaharu dalam sinema Indonesia. Mereka layak disebut sebagai pembaharu karena menawarkan sudut pandang dan cara pendekatan lain terhadap tema-tema kehidupan yang dituturkan melalui bahasa gambar-gerak dan suara. Di rumah sendiri, nama-nama mereka mungkin jarang mengisi tajuk utama berita. Tapi nun jauh di sana, nama mereka telah melanglang buana. Di antara nama-nama tersebut adalah:

Edwin

Edwin (38). Foto: hollywoodreporter.com

Edwin (nama yang dipakai memang satu kata ini saja) mulai menghentak pecinta sinema pada tahun 2005 melalui karyanya yang cukup mengejutkan: Kara, Anak Sebatang Pohon. Film pendek berdurasi sekitar 10 menit ini selain mempunyai judul yang cerdik (sebuah wordplay dari 'Anak Sebatang Kara') juga mengusung tema serta gaya penuturan narasi yang tidak lazim menurut standar perfilman kita.

Serat utama cerita Kara, Anak Sebatang Pohon adalah upaya pemenuhan balas dendam seorang bocah (Kara) kepada pembunuh ibunya, yaitu... Ronald McDonald, maskot franchise makanan cepat saji McDonald's yang tersohor itu. Di balik cerita nyentriknya ini, bercokol sebuah narasi menggelitik tentang relasi kita dengan kapitalisme.

Kara, Anak Sebatang Pohon menjadi film pendek Indonesia pertama yang diputar di Directors’ Fortnight di Festival Film Cannes, Perancis.

Seleksi penayangan film di Cannes yang superketat, dengan audiens serta juri berkelas internasional, menjadikan ajang tahunan ini disebut-sebut sebagai festival film paling bergengsi di dunia.

Berbeda dengan Academy Award (Oscar) yang semata-mata sebuah malam penghargaan dan terlalu Amerika-sentris, Cannes adalah sebuah festival yang juga menayangkan, mendiskusikan, dan memberikan penghargaan kepada film/insan aneka bangsa yang terlibat di dalamnya. Banyak sineas bereputasi internasional menjadikan Cannes sebagai tempat tayang perdana karya mereka.

Bagi sineas muda, ketika filmnya dapat lolos seleksi dan ditayangkan di Cannes saja sudah menjadi sebuah pencapaian tersendiri. Perhatian dan ekspos yang didapat atas sebuah karya di festival inilah yang menjadi impian sineas muda seluruh penjuru dunia. Edwin, yang kala itu masih berusia 27 tahun telah mendapat kehormatan itu.

Film panjang pertama Edwin berjudul Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) juga mendapat respons positif dari khalayak internasional. Edwin terlihat kerap menggunakan simbol-simbol dalam film ini, terutama sebagai medium untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait identitas sosial. Film yang dibintangi oleh Ladya Cherryl dan Pong Hardjatmo ini diganjar FIPRESCI Prize in Rotterdam (Belanda) di tahun yang sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline