Lihat ke Halaman Asli

Forum Global Terkait Perubahan Iklim, Seberapa Efektifkah?

Diperbarui: 11 September 2016   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan iklim sering dikaitkan dengan laju deforestasi atau berkurangnya lahan hutan. Logikanya bahwa hutan merupakan tempat tersimpannya gas rumah kaca karbondioksida (CO2). Jika hutan terbakar maka CO2 akan terlepas ke udara dan terjadilah pemanasan global.

Ketika suhu permukaan bumi mengalami pemanasan, anomali iklim dan cuaca terjadi, diikuti dampak lanjutan seperti badai, banjir, kekeringan dan kelaparan, tanah longsor, dan lain sebagainya. Bahkan menurut Bill McGuire, seorang pakar vulkanologi dalam bukunya Waking the Giant - How a Changing Climate Triggers Earthquakes, Tsunamis, and Volcanoes (2012) disebutkan bahwa pemanasan global secara jangka panjang memicu terjadinya gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi.

Isu deforestasi ini telah lama dibicarakan publik, terutama para pemerhati lingkungan. Moratorium hutan merupakan cara paling efektif untuk mengurangi laju deforestasi, namun disebabkan masih banyaknya manusia yang menggantungkan kelangsungan hidupnya dari hasil hutan, maka secara ekonomi hal ini kurang memenuhi rasa keadilan bagi banyak pihak.

Dalam rangka mencari jalan tengah konflik kepentingan ini, lahirlah Bonn Challenge pada September 2011 yang difasilitasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup Jerman dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) di Kota Bonn, Jerman.

Bonn Challenge menghasilkan komitmen global untuk merestorasi 150 juta hektar lahan hutan yang kritis atau gundul di seluruh dunia sampai tahun 2020. Target selanjutnya sejumlah 350 juta hektar lahan hutan akan direstorasi hingga tahun 2030. Tercatat, anggota peserta Bonn Challenge terdiri dari 37 organisasi yang berasal dari berbagai negara di dunia yang meliputi pemerintahan (pemerintahan pusat maupun daerah), swasta (korporasi) dan sipil (LSM).

Komitmen yang berasal dari pemerintahan antara lain Argentina, Amerika Serikat, Burundi, Costa Rica, Chili, Ekuador, Elsalvador, Ethiophia, Ghana, Guatemala, Guinea, Honduras, India, Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Meksiko (Campeche), Meksiko (Yukatan), Meksiko (Quintanaa Roo), Mozambik, Nigeria, Nikaragua, Pakistan (Khyber Pakhtunkhwa Province/KPK), Pantai Gading, Peru, Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Panama, Rwanda, Uganda.

Sementara dari bisnis dan LSM yaitu Brazil’s Atlantic Forest Restoration Pact (Brasil), Asia Pulp & Paper/APP (Indonesia), Association of Guatelama Private Natural Reserves (Guatemala).

Salah satu sektor bisnis di Indonesia yang memiliki konsesi hutan tanaman industri seluas 2,5 juta hektar, Asia Pulp & Paper turut berkomitmen merestorasi lanskap hutan di Indonesia sebagaimana dikutip dari harian Kompas edisi 5 September 2016. Bahkan hingga saat ini, Asia Pulp & Paper menjadi satu-satunya korporasi yang berpartisipasi dalam Bonn Challenge.

Direktur Pengelola Sustainability and Stakeholder Engagement, Asia Pulp & Paper Group, Aida Greenbury menuturkan bahwa untuk merestorasi lanskap hutan, perusahaan membentuk model bisnis baru agar bisnis dapat tumbuh dan deforestasi menjadi nol. Caranya yaitu dengan pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan memanfaatkan lahan bagi pertanian dengan melibatkan komunitas lokal.

Di sisi lain, Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin menyadari bahwa wilayahnya memiliki lahan kritis yang berpotensi terjadi kebakaran hutan. Oleh karena itu pihaknya telah bermitra dengan Asia Pulp & Paper dalam melaksanakan komitmen Bonn Challenge. Melalui kemitraan tersebut, Sumsel mengklaim telah melaksanakan restorasi lanskap hanya dalam kurun waktu 1,5 tahun, seperti dikutip dari Rmol.co.

Menurut data statistik dari situs resmi organisasi bonnchallenge.org, keikutsertaan banyak pihak mampu mengurangi pelepasan karbondioksida di atmosfer bumi hingga sebanyak 5,95 Gigaton gas CO2, dan mampu mendukung kegiatan ekonomi sebesar USD 19,9 juta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline