Lihat ke Halaman Asli

Kontroversi Arcandra Tahar dan Harapan Dwikewarganegaraan

Diperbarui: 28 Agustus 2016   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menteri ESDM Arcandra Tahar telah diberhentikan dengan hormat dari jabatannya. Awalnya publik tersentak dengan kabar ini. Kok bisa staf ahli pemerintah dan para pembantu presiden kecolongan? Kenapa Arcandra tidak mengakui permasalahan ini secara terus terang sebelum dia ‘dipinang’ sebagai menteri? Terlepas dari berbagai polemik yang menjadi bahan pemberitaan, saya tidak ingin membahas isu tersebut dari sudut pandang politik dan undang-undang nasional yang ada, melainkan sisi subjektif saya berdasarkan lingkungan sosial yang saya temui dalam keseharian.

Kita tahu era globalisasi di masa kini semakin menuntut setiap orang untuk memiliki banyak keahlian. Di dunia kerja Tanah Air, para lulusan sekolah atau universitas luar negeri cenderung lebih dihargai dibandingkan sekolah lokal. Terlebih kemampuan menguasai dua atau lebih bahasa menambah nilai mereka. Mau tidak mau harus diakui, seperti inilah realitanya.

Banyak pula WNI yang tidak beruntung mencicipi kesempatan sekolah mendapat beasiswa, atau bekerja ke luar negeri, memilih perkawinan sebagai jalan keluar bagi mereka demi bisa ke luar negeri. Mereka rela menjadi ‘imigran cinta’ demi impiannya tersebut, yang mana jika tidak melalui perkawinan, tentu mustahil bagi mereka bisa ke negara orang tanpa sanak famili. Orang-orang tersebut rela harus berdiaspora demi kepentingan pribadinya supaya bisa hidup dengan lebih baik, dan melahirkan keturunan terbaik.

Menurut berbagai studi yang terus dilakukan, salah satunya yang publikasikan oleh DailyMail, menyebutkan bahwa anak bilingual atau trilingual hasil perkawinan campuran mempunyai keunggulan intelektual yang lebih baik dibandingkan yang berbicara satu bahasa. Ini juga menjadi salah satu alasan orang yang memilih pasangan warga asing.

Contohnya, tidak sedikit orang Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris meski sudah belajar sejak sekolah dasar. Wajar karena jika tidak pernah tinggal di negara penutur asli, sampai kapanpun tidak akan fasih, karena bahasa adalah alat yang akan rusak jika tidak pernah dipakai. Oleh karena itu diaspora dapat mempertahankan alat tersebut supaya tetap berfungsi.

Perkawinan campuran sebenarnya menjadi hal wajar di zaman modern ini. Orang di belahan dunia manapun dapat saling bertemu hingga menjalin cinta. Jalannya juga semakin dipermudah dengan adanya teknologi internet. Dengan internet pula, orang-orang yang punya impian melanjutkan S2 ke luar negeri melalui jalur beasiswa dimudahkan, cukup melalui cara ‘googling’. Respect to the elder, pendahulu yang sukses mendapatkan beasiswa tanpa Google.

Para orangtua yang melakukan perkawinan campuran selalu dipusingkan dengan urusan administrasi kewarganegaraan, terutama masalah status hukum anak hasil perkawinan campuran. Masih belum lekang di ingatan kita kasus Gloria Hamel yang hampir gagal menjadi paskibraka di HUT RI ke-71 pada 17 Agustus kemarin.

Di sisi lain, banyak ‘bule’ yang datang ke Indonesia dan kemudian ingin menjadi WNI karena terlanjur jatuh cinta dengan semua yang ada di sini, keindahan alam, keramahan masyarakatnya, dan kekayaan budaya, meski kekurangannya juga banyak. Saya tidak tahu seperti apa undang-undang kewarganegaraan yang dimiliki negara lain, namun ini adalah bukti bahwa siapapun kita, dari ras dan agama apapun, kita bisa saja jatuh cinta dengan bumi yang sedang kita pijak meski bukan tanah kelahiran sendiri.

Bagaimanapun juga, kaum bilingual lebih berpotensi untuk sukses baik di negeri sendiri maupun ketika ia memutuskan ingin bekerja membangun negara orang. Saat kesuksesan bisa dengan diraih seorang bilingual, namun harus tersandung dengan urusan administrasi di Indonesia, ini sangat menyedihkan.

Orang Indonesia yang memilih tinggal di luar negeri bukan berarti tidak mencintai Indonesia. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, sejatinya adalah ikrar Sumpah Pemuda yang membuat kita senantiasa ingin pulang ke Tanah Air dan mengabdi untuk negara. Orang hanya perlu ke luar negeri supaya bisa lebih mencintai Indonesia. Orang perlu belajar dari negara lain supaya bisa membangun Indonesia. 

Saya sangat menyesalkan diberhentikannya Arcandra Tahar dari jabatan menteri karena urusan administratif. Tentu terlepas dari masalah kejujuran Arcandra kepada presiden yang sempat dipertanyakan publik. Padahal, secara keahlian Arcandra mampu memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline