Lihat ke Halaman Asli

Vellyzh_4

Saya masih seorang pelajar kelas 1 SMK namun saya sudah mengikuti berbagai lomba cerpen dan puisi di berbagai tempat

Senyum untuk Ibu

Diperbarui: 4 Januari 2025   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku memandang ke langit yang mulai berwarna abu-abu, seperti cermin hatiku yang kelabu. Mendung menggantung rendah, seakan membungkusku dalam keheningan yang menyesakkan. Bibirku gemetar, mencoba menyusun kata-kata yang tertahan selama ini, namun yang keluar hanya gumaman patah yang hampir tak terdengar.  

"Bu," suaraku pecah dalam bisikan serak. "Aku tahu, mungkin aku terlambat untuk mengatakan ini... tapi aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf untuk semua waktu yang aku sia-siakan... untuk semua kata-kata yang pernah menyakitimu."  

Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah. Suaranya seakan menjawab permintaan maafku, seperti bisikan alam yang tahu betapa hancurnya hatiku. Aku meremas tanah di hadapanku, mencoba mencari kehangatan yang pernah kurasakan darinya. Tapi yang kutemukan hanyalah dinginnya tanah lembap---dingin, diam, tak bisa menggantikan kehadirannya.  

Kenangan terakhir tentang ibu tiba-tiba menyergapku tanpa peringatan, menghantamku seperti ombak yang menghempaskan.  

_Flashback_

"Ibu hanya ingin kamu bahagia," ucap ibu sambil tersenyum lembut. Tangannya yang kurus namun penuh kasih sayang mengelus rambutku, sebuah isyarat yang selalu membuatku merasa aman.  

Aku, yang saat itu sibuk dengan segala ambisiku, hanya menanggapi dengan anggukan cepat. Aku bahkan tak menatapnya lama-lama. "Iya, Bu. Tapi aku harus pergi dulu sekarang. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan," jawabku dengan nada terburu-buru.  

Ibu mengangguk pelan, senyumnya tetap bertahan meskipun aku tak menyadari sorot sendu di matanya. Aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri, terlalu sibuk mengejar mimpi-mimpiku tanpa pernah berpikir bahwa waktu kami bersama tidak akan selamanya.  

Itulah terakhir kali aku melihat senyumnya. Senyum yang hangat namun terselip kelelahan, senyum yang menyembunyikan rasa sakit yang tidak pernah ia keluhkan.  

_Flashback End_

Aku kembali ke makamnya, lututku lemas saat aku berlutut di atas rumput yang kini mulai tumbuh hijau di atas tanahnya. Air mataku bercampur dengan butiran hujan yang mulai turun. Rasanya seperti dunia ikut menangis bersamaku.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline