Lihat ke Halaman Asli

Kisah Pendiri Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri (KH Ahmad Djazuli Utsman)

Diperbarui: 29 April 2021   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Pendiri Pondok Pesantren Al Falah Ploso Mojo Kediri (anis coquelet/unsplash)

KH. Ahmad Djazuli Utsman lahir pada 16 Mei 1900 M dengan nama Mas’ud dari pasangan Raden Mas M. Utsman(Pak Naib) dan Nyi Mas Ajeng Muntoqinah. Mas’ud lahir dan dibesarkan di desa kecil bernama Ploso. Di desa ini ramai dengan kemaksiatan. Karena hidup di lingkungan seperti itu, orang tua  Mas’ud selalu memberikan pengawasan dan bimbingan serta mananamkan sikap kedisiplinan yang tinggi.

Sebagai anak seorang bangsawan dan pegawai negeri Mas’ud beruntung, karena bisa mengenyam sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Saat Mas’ud sedang  menuntut ilmu di Batavia ia mendapat perintah dari Kyai Ma’ruf untuk pulang dan melanjutkan belajar di pondok pesantren. Rupanya beliau memiliki firasat tentang Mas’ud dan mengerti apa yang pantas untuk masa depan Mas’ud.

Mas’ud mengawali belajarnya di pesantren gondanglegi Nganjuk yang di asuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu tentang Al-Qur’an (tajiwid) dan kitab jurumiyah (nahwu) selama 6 bulan. Mas’ud juga mencari ilmu ke berbagai guru seperti KH. Hasyim Asy’ari.

Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud kemudian memperdalam ilmu Shorof selama 1 tahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih (Nganjuk) yang diasuh oleh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari dan saat itu diasuh oleh KH. Zainuddin.

Selama di Mojosari, Mas’ud hidup sederhana. Setiap hari ia hanya makan satu piring kecil dengan lauk seadanya.

Di tengah kehidupannya yang semakin sulit, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal dunia. Untuk menopang biaya hidupnya di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kosong lalu ia beri makna yang sangat jelas dan dijual kepada teman-temannya.

Setiap hhari KH. Zainuddin diam-diam memperhatikan Mas’ud. Dalam suatu kesempatan, sang pengasuh bertemu Mas’ud dan memerintahkannya untuk tinggal di dalam pondok.

“co, endang ning pndok!”

“Kulo mboten gadah sangu, pak Yai” jawab Mas’ud

“Ayo, coo mbesok kowe arep dadi Blawong, co!”

Mas’ud yang tidak mengerti apa arti Blawong hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menuruti perintah sang Kyai untuk tinggal di dalam pondok. Sejak itulah, Mas;ud kerap mendapat julukan Blawong. Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Seolah burung itu punya karisma yang saangat luar biasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline