Suatu hari ada seorang anak yang bernama Meera berusia 4 tahun tengah asyik bermain dengan teman sebayanya. Pertemuan mereka berawal dari sekolah anak usia dini atau PIAUD yang sama, begitu pula dengan tempat belajar mengaji yang sama. Seperti anak-anak pada umumnya, Meera ketika di antar ke tempat sekolah pertama kali dia merasa asing dan merengek ingin kembali pulang. Pelukan erat pada bundanya tiada mau ia lepaskan. Sang bunda paham akan hal tersebut, karenanya ia kemudian menemani Meera sampai kegiatan di sekolah itu selesai.
Hari demi hari sang bunda sedikit mengatur jaraknya dengan Meera, memantaunya dari kejahuan. Hingga suatu ketika, sang Bunda meninggalkan Meera di sekolah sendiri dikarenakan pekerjaan kantor yang harus segera di selesaikan. Tiada disangka, saat Meera mendapati bundanya tidak ada di sekitarnya ia menangis dan terus menerus memanggil sang bunda " Bunda.. bunda.. bunda dimana?". Sulit untuk menenangkan, Meera terus menangis dan memilih menjauh dari teman-temannya. Tidak menjawab rayuan-rayuan yang dilontarkan ibu guru terhadapnya. tidak membutuhkan waktu lama, ibu guru mencarikan salah satu teman untuk mengajak Meera bermain, dengan harapan Meera berhenti menangis dan tidak lagi mencari bundanya.
Faza namanya, dia adalah anak yang paling mudah bergaul dengan orang lain jika dibandingkan dengan teman sekelas lainnya. Faza mengajak Meera untuk bermain bersama, ia pun menerima ajakannya. Senyum tawa pun kian mulai terlukis di wajah Meera, ia mulai merasa nyaman. Ditengah bermain, kejadian yang tidak diinginkan terjadi. Meera bertengkar dengan Faza, hal ini disebabkan Faza mengambil mainan Meera. Meera yang pada saat itu masih memiliki sifat kepemilikan yang kuat, tidak mau apa yang dimilikinya diambil oleh orang lain.
Rasa individual akan kepemilikan dan tidak mau berbaur dengan teman sebayanya. Diantara kedua sifat itu menandakan bahwa anak tersebut membutuhkan simulasi kemampuan sosial emosional. Perkembangan sosial emosional pada anak usia dini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keturunan, lingkungan, teman sebaya dan yang lainnya. Kebanyakan anak di usia dini susah untuk berbaur dengan orang baru, dan berinteraksi dengan orang baru. Namun terdapat pula anak yang mudah sekali berbaur dengan orang baru, hal ini dapat dimungkinkan memang kedua orang tuanya memiliki pembawaan yang luwes dan sering kali berinteraksi dengan orang lain.
Pada dasarnya anak usia dini memiliki golden age karena fisik dan motorik anak berkembang dan tumbuh dengan begitu cepat. Baik pada perkembangan emosional, intelektual dan moral. Satuan pendidikan anak usia dini (PIAUD) adalah bentu penyelenggaraan pendidikan yang berfokus pada pendekatan dasar perkembangan dan pertumbuhan agama, moral, kognitif, fisik motorik, bahasa, seni dan sosial emosional pada anak. Perkembangan sikap, pengetahuan serta keterampilan serta daya cipta menjadi hal penting yang diperlukan anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Perkembangan sosial merupakan suatu proses dimana seorang anak belajar tentang dirinya sendiri dan orang lain untuk membangun suatu hubungan. Adapun perkembangan emosi merupakan proses luapan perasaan anak ketika berinteraksi dengan lingkungannya yang terjadi secara perlahan. Perkembangan sosial emosional pada hakikatnya telah ada dari anak mulai lahir. Usia anak-anak seringkali dicirikan dengan rasa yang bersifat sementara, cenderung individualis, dan sangat bervariatif berdasarkan usia yang dapat dikenali dari perilaku. Ketika orang tua dan orang dilingkungan sekitarnya
Bagaimana cara yang dilakukan untuk mendukung perkembangan sosial emosional anak?
Menurut teori Mildred Parten (1932) dalam buku Membangun Kecerdasan Emosi dan Sosial Anak Sejak Usia Dini. menjelaskan bahwa kegiatan bermain adalah sebagai sarana sosialisasi. Terdapat enam bentuk interaksi anak yang terjadi ketika mereka bermain. Dari ke enam bentuk kegiatan bermain tersebut dapat terlihat adanya peningkatan kadar sosial emosional anak. Keenam bentuk tersebut meliputi (1) Unoccupied play, anak tidak terlibat langsung dalam kegiatan bermain melainkan hanya sebagai pengamat di sekitarnya yang menarik perhatiannya; (2) Solitary Play (bermain sendiri), anak asyik bermain sendiri tanpa memerhatikan kehadiran teman atau anak lainnya; (3) Onlooker Play (pengamat), seorang anak memerhatikan perilaku dan kecakapan anak lainnya bermain; (4) Paralel Play, beberapa anak bermain dengan jenis alat permainan yang serupa dan melakukan gerakan yang serupa pula; (5) Assosiative Play, adanya interaksi antar anak ketika bermain namun ketika diamati nampak bahwa mereka tidak melakukan kerjasama; dan (6) Cooperative Play, anak-anak bermain bersama dengan ditandai adanya kerja sama, pembagian tugas atau peran diantara mereka dalam permainan untuk dapat mencapai suatu tujuan tertentu.
Peran orangtua tentu turut andil dalam kehidupan anak terutama membantu anak dalam mengelola emosi mereka. Hal tersebut sangat bergantung pada bagaimana cara mereka berbicara dengan anak tentang emosi, mengambil pendekatan melatih emosi dan mengabaikan emosi. Cara tersebut dapat dilihat ketika orang tua memberikan pendekatan cara mengatasi emosi negatif anak seperti marah, sedih, kesal dan sebagainya.
Selain dengan mengajak dan membiarkan Meera bermain, langkah yang diambil bunda kepada Meera adalah dengan mengajaknya berbicara berdua. Pada momen inilah bunda menyelipkan butir-butir pengetahuan mengatasi emosi. Seperti ketika Meera melakukan kesalahan, bunda tidak langusng marah kepadanya melainkan mendekatinya dan memberi penjelasan baik-baik bahwa apa yang telah dilakukannya adalah hal yang salah. Hingga pada akhirnya Meera menyadari hal tersebut kemudian meminta maaf kepada bundanya. Disisi lain bunda juga meminta Meera untuk memberi salam kepada siapa pun yang datang bertamu ke rumahnya, dan memberikan hidangan yang dimilikinya kepada tamu tersebut, hal ini ditujukan untuk dapat mengubah sikap individual pada Meera sehingga Meera mualai terbiasa berinteraksi dan berbagi kepada teman maupun orang lain.
Referensi :