Lihat ke Halaman Asli

Itsna Nabiha Kama S R

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 21107030120

Memahami Bahagia yang Sesungguhnya

Diperbarui: 14 Juni 2022   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi orang bahagia (Sumber: shtterstock)

Kita tentunya memiliki definisi mengenai bahagia kita masing-masing. Mungkin ada yang bahagia ketika dapat membahagiakan orang lain, ada yang bahagia ketika membeli atau telah mendapatkan pencapaian sesuatu, atau ada yang bahagia ketika mengunjungi suatu tempat. Lantas, sebenarnya bahagia yang sesungguhnya itu seperti apa?

Hal-hal yang telah disebutkan di atas memang benar adanya termasuk faktor-faktor yang dapat membuat bahagia seseorang. Akan tetapi, perlu diingat dan dipahami, bahwa orang lain, benda,  harta, kekayaan, fisik, merupakan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan.

Maksudnya adalah, kita tidak memiliki kendali penuh atau kita tidak bisa mengendalikan ucapan orang lain, tindakan orang lain, dan keputusan orang lain. Demikian juga dengan harta-benda, kita tidak tahu kapan sebuah benda akan rusak, kapan sebuah benda akan hilang, kapan sebuah benda akan tidak memiliki nilainya sama sekali.

Seharusnya, kebahagiaan yang sesungguhnya atau kebahagiaan sejati semua itu tumbuh dan berkembang dari dalam diri. Kita harus memahami bahwa segala sesuatu yang ada di dunia, segala sesuatu yang kita miliki, itu hanyalah fana.

Jika kita sangat mencintai pasangan kita, layaknya seorang manusia biasa, suatu saat akan mati. Jika kita merasa bahagia ketika memiliki sebuah rumah mewah, dan tiba-tiba terjadi musibah yang mengakibatkan rumah mewah itu runtuh, lantas apakah kebahagiaan telah hancur dan musnah?

Sudah semestinya, kita tidak menggantungkan dan menitikberatkan kebahagiaan pada faktor-faktor yang tidak bisa kita kendalikan. Hal-hal duniawi yang bersifat nyaman tentu saja selalu membuat ingin lagi dan lagi. Seperti kekayaan, wajah yang rupawan, pasangan yang tampan atau cantik, harta-benda, popularitas, dan jabatan tentu membuat siapa pun yang memlikinya merasa bhagia ketika memiliki beberapa di antara yang telah disebutkan.

Akan tetapi, kita sudah harus mulai merubah pola pikir kita dan melawan efek kenyamanan atau efek nagih dari hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita harus bisa memahami bahwa hal-hal yang bersifat duniawi, hal-hal yang membawa kenikmatan di dunia hanyalah bersifat benda, objek, dan sebatas kenikmatan yang tidak lebih dari apa pun.

Kita pun juga tidak semestinya menitikberatkan kebahagiaan kepada orang-orang yang kita sayang, dalam artian pasangan atau anak. Cintailah dalam batas wajar layaknya seorang suami kepada istri ataupun sebaliknya dan sewajarnya layaknya orang tua kepada anaknya.

Sebab, orang-orang yang kita cintai adalah manusia. Yang dapat meninggalkan kita suatu saat nanti. Kita harus memahami sifat dan hakekat manusia yang tidak selamanya berada di dunia. Layaknya kita juga yang entah sampai kapan berada di dunia. Sehingga, ketika kita secara tiba-tiba ditinggalkan orang yang kita kasihi atau bahkan kita yang meninggalkan, kita harus bisa menyikapi dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih.

Maka dari itu, saat kita paham bahwa kebahagiaan adalah hasil buah pikir yang kita ciptakan, maka saat kita masih didampingi oleh orang-orang yang kita kasihi, berikan sebuah wujud rasa cinta dan sayang, hargai keberadaannya semasa hidup. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline