Lihat ke Halaman Asli

Itsna Nabiha Kama S R

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 21107030120

Bahaya Berpikir Positif Terus-menerus

Diperbarui: 12 Juni 2022   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (via: shutterstock)

Kita tentu saja tidak asing dengan ungkapan untuk selalu menanamkan pikiran positif dalam segala hal. Akan tetapi, ada bahaya yang dapat timbul jika dalam setiap segi kehidupan kita, selalu dianggap baik-baik saja, atau selalu berpikir positif. Istilah bahaya seslalu berpikir positif ini disebut dengan toxic positivity.

Toxic positivy adalah sebuah frasa yang merujuk pada sebuah konsep untuk terus merasa dan berpikir positif. Dengan kata lain, kita hanya memfokuskan segala hal yang terjadi di dalam hidup kita pada hal-hal yang baik-baik saja dan menolak, menyangkal, atau membuang apa pun yang dapat memicu perasaan negatif.

Secara sederhana, contoh toxic positivty adalah ketika kita sedang merasa sedih, marah, atau berkabung, dan sedang dalam usaha untuk bercerita kepada orang lain, tetapi malah mendapatkan ungkapan seperti, "Jangan sedih, semua pasti akan baik-baik saja."

Secara kasat mata, orang-orang yang mengatakan hal ini tidak memiliki niat yang buruk atau jahat. Orang-orang yang mengatakan demikian sedang berusaha menghibur, tetapi dengan cara yang sedikit kurang benar.

Padahal, tiap-tiap manusia memerlukan ekspresi emosionalnya sendiri-sendiri, seperti menangis, marah, galau, dan sedih. Semua itu merupakan luapan emosional yang tidak seharusnya untuk ditahan dan dipaksa untuk berubah secara serta-merta. Akan tetapi, biarkan untuk meluap dahulu untuk kemudian kembali ditata.

Toxic positivty ini tidak hanya dapat dilakukan orang lain terhadap kita. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan diri kita sendirilah yang melakukannya kepada diri kita. Misalnya saat kita sedang mengalami stres yang berkepanjangan, kita malah mengatakan, "Yaelah, kaya gini doang masa aku engga bisa. Masa kaya gini doang nangis."

Dan hal seperti itu, juga tidak dapat dibenarkan. Sebab, kita sebagai manusia seutuhnya sudah sepatutnya untuk merasakan lelah, penat, sedih, dan marah. Dan kita tidak perlu menyangkan perasaan-perasaan tersebut. Sebab, semua itu memang perlu untuk diluapkan, diekspresikan, dan dikeluarkan.

Selain itu, toxic positivy juga mencakup beberapa hal di bawah ini:

  1. Menyembunyikan perasaan kita yang sesungguhnya: sedih, marah, lelah
  2. Selalu saja berusaha menganggap mudah hal-hal yang sedang terjadi
  3. Merasa bersalah dengan yang kita lakukan
  4. Mengerdilkan pengalaman orang lain dengan memberikan nasihat dan kalimat positif
  5. Tidak membiarkan orang lain memvalidasi perasaannya, dengan ungkapan seperti, "kamu harusnya bersyukur, ada yang lebih buruk daripada kamu"
  6. Mengejek atau mencemooh orang lain karena sedang menunjukkan perasaan frustasinya

Berpikir positif secara terus-menerus juga dapat berpengaruh risiko pada kesehatan, fisik, ataupun mental. Jika kita terlalu sering menganggap segala hal yang terjadi dalam hidup menggunakan ruang lingkup positif, tidak menutup kemungkinan akan dapat meningkatkan risiko stres, gangguan kecemasan, dan depresi.

Saat kita menyangkal perasaan-perasaan atau emosi yang seharusnya dikeluarkan, diluapkan, atau diekspresikan justru akan menjadi suatu luapan emosi yang tidak terkendali dan pada waktu yang tidak terduga. Dan bahayanya lagi, jika kita terbiasa melakukan tidakan penyangkalan atau menahan perasaan emosional, emosi negatif bisa saja meledak karena tidak dapat diproses dan dikeluarkan secara tepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline