Lihat ke Halaman Asli

Itsna Auginisia

Penulis pemula

Hubungan Ulat Jati Bergelantungan di Kabupaten Gunungkidul dan Perubahan Iklim

Diperbarui: 13 Desember 2024   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Awal musim hujan di bulan November 2024 ini, viral di media sosial keberadaan ribuan ulat jati yang bergelantungan di Kabupaten Gunungkidul DIY. Ulat jati yang bergelantungan di pohon mengganggu pengguna jalan. Banyak warga membagikan momen menghindari ulat dengan berbagai ide nyentrik ke media sosial. Di antaranya, menggunakan jas hujan saat berkendara, membawa tongkat kayu untuk menyingkirkan ulat, memakai payung saat berkendara dan lain sebagainya.

Sebenarnya ulat jati yang menempel di baju atau kulit tidaklah berbahaya. Tapi ketika tertabrak pengendara dan mati tergencet, ulat jati meninggalkan noda hitam yang susah dibersihkan.

Ada yang merasa geli dengan kehadiran ulat ini, tapi banyak juga yang menanti dan memanfaatkan fenomena ulat jati ini sebagai ladang penghasilan dan bahan pangan. Tidak heran, saat fenomena ini terjadi banyak warga Gunungkidul berbondong-bondong keluar rumah mencari pohon jati yang banyak dihinggapi ulat jati. Sebenarnya, pencarian ulat jati tidak sepenuhnya berada di pohon, ulat lebih banyak ditemukan permukaan tanah.

Sebagai ladang penghasilan, warga biasanya menjual dalam bentuk mentah. Satu botol plastik ukuran sedang berkisar 5000 rupiah. Beragam olahan makanan ekstrem pun dibuat sesuai kekreatifan warga. Ada yang digoreng dijadikan lauk, di goreng menjadi peyek, dimakan bareng thiwul, dioseng, dan lain sebagainya. Rasa dari ulat jati ini gurih dan mengandung banyak protein.

Siklus ulat jati kurang lebih seperti ini. Saat musim hujan datang telur dari kupu-kupu akan menetas. Ulat jati yang masih kecil akan membesar dengan memakan banyak daun jati. Setelah waktunya tepat ulat jati akan turun dengan bermodalkan air liurnya untuk membentuk semacam tali, seperti laba-laba.

Untuk penurunan pertama, biasanya ulat jati tidak langsung turun ke tanah. Mereka akan bergelantungan di setengah tinggi pohon saat pagi hari dan akan kembali naik ke atas pohon saat siang. Setelah beberapa hari, barulah ulat jati turun hingga ke permukaan tanah guna mencari tempat yang nyaman untuk menjadi kepompong/ entung jati atau masyarakat sekitar sering menyebutnya ungkrung.

Tau gak sih kalo ulat jati di Kabupaten Gunungkidul ini adalah fenomena tahunan? Fenomena ini juga menunjukkan tanda awal datangnya musim hujan. Kalo kita berkaca dan membandingkan dengan tahun kemarin, yaitu tahun 2023, fenomena ulat jati hadir di awal bulan Januari.

Emang berpengaruh ya, waktu datangnya ulat jati itu? Iya dong. Ulat jati yang hadir bulan November ini membuktikan bahwa tidak ada kemunduran musim hujan dan perubahan iklim kali ini tidak mempengaruhi kedatangan musim hujan.

Berarti bagus dong fenomena ulat jati ini untuk kehidupan masyarakat Kabupaten Gunungkidul? Tentu saja, dengan hadirnya musim hujan membuat persediaan pangan masyarakat tidak kacau. Lumbung padi dapat terisi dan palawija dapat dikonsumsi.

Apalagi Gunungkidul dikenal dengan daerahnya yang berbatu karst atau batu kapur. Sawahnya pun sebagian besar berjenis tadah hujan. Oleh karena itu, hujan sangat dibutuhkan oleh petani.

Mari kita sedikit menengok tahun 2023 yang lalu. Banyak petani yang merugi karena keterlambatan datangnya musim hujan. Selain karena hasilnya sedikit tapi juga banyak modal benih yang terbuang sia-sia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline