Beragama itu mengasyikkan. Tidak memberatkan; senantiasa bertendensi memudahkan. Pada ibadah tertentu seperti haji, selalu disorongkan dengan keterangan tambahan: bagi yang mampu.
Dengan artian, bila tidak cukup biaya, tidak perlu dipaksakan berutang. Selain beban biaya, keterbatasan fisik bisa menjadi pembatal wajib berhaji. Dan, buku ini memotret berhaji ala Nabi secara apik sebagai kisah yang mesti diteladani.
30 Kisah Teladan merupakan buku seri yang amat laris sejak terbit awal tahun 1990 dan dicetak berulang kali. Adalah Abdurrahman Arroisi (AA): seorang dai, akademisi, budayawan, sekaligus penulis prolifik. Tinggalan "magnum opusnya", adalah buku seri tersebut yang terbabar hingga 12 jilid.
Lahir di Pemalang tahun 1944 dan wafat pada 1997. Didikan pesantren di Cirebon dan Krapyak; menempuh kuliah di Surabaya, serta ketertarikannya pada dunia seni, menjadikannya keluasan pengetahuan sebagai jaminan mutu karyanya yang melegenda ini.
Satu hal yang selalu konsisten pada setiap karya-karyanya pula adalah, sisipan kritik sosial dalam narasi praktik keberagamaan. Pada tahun buku ini edar luas sekitar 30 tahun silam, kita mafhum antrean haji tidaklah seperti sekarang.
Namun, AA selaku pengisah seperti bisa menebak prospek semarak berhaji dalam konteks sosial-keberagamaan. Ya, AA berkisah dengan mengambil iktibar praktik berhaji Nabi Muhammad Saw. Bagaimanakah teladan Nabi dalam berhaji?
Buku berwajah anyar, segar, dan kekinian ini, rupanya relevan dan kontekstual hingga hari ini. Karya AA bukanlah semacam kumpulan artikel populer ilmiah. AA membabarnya dengan pendek-pendek yang bersumber kisah nyata. Diksi dan alur pengisahan mirip catatan pribadi: mengalir dan sederhana. Ya, AA menginformasikan bahwa Nabi hanya berhaji sekali seumur hidup. Padahal bila berkenan, Nabi punya kesempatan hingga tiga kali. Pun, Nabi berumrah sunah hanya beberapa kali. Toh bila bersedia, Nabi bisa umrah setiap saat.
Meski begitu, AA berikhtiar keras menihilkan kesan menggurui/menginstruksi untuk menapaktilasi Nabi agar cukup berhaji sekali. Hanya saja, AA menguar bahwa fardu berhaji hanya sekali seumur hidup. Dalam konteks ini, pembaca bisa meluaskan bahasan guna membandingkan dengan tulisan setema seperti Haji Pengabdi Setan karya KH. Ali Mustafa Yaqub yang ramai dibincang.
Pun, AA secara implisit menjejalkan apa yang dinamakan konsep Fikih Sosial; di mana menyorongkan kemanfaatan besar pada orang lain (pemberdayaan umat) bersandar dari ritus-ritus berhukum sunah yang berbiaya besar macam berhaji untuk kedua kali.
Simak pengisahan AA berikut: Betapapun banyaknya harta seorang muslim, betapapun luasnya kesempatan yang tersedia, melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali bukanlah pekerjaan yang diwajibkan. Imbuh AA: apalagi saat umat Islam masih dilanda kemiskinan, adalah lebih mulia kekayaan yang dipunyai untuk kepentingan ibadah sosial-kemanusiaan ketimbang berangkat ke Tanah Suci berulang kali (hlm: 100).