Pada hari-hari ini, tema besar yang terus menjadi diskursus di ruang publik adalah perkara gender. Gender tertampil dalam segala renik. Membincang gender sudah bukan zamannya terjadi di ruang privat, malu-malu, dan tabu. Segala rupa persoalan gender mesti dibicarakan gamblang dan proporsional. Sehingga relasi gender menghasilkan kesetaraan dan keadilan.
Otoritas tubuh, marital rape, Permendikbud No. 30 tahun 2021, dan RUU PKS merupakan sedikit tamsilan dari arus besar diskursus yang bermula dari permasalahan gender. Sejumlah hal menjadi polemik lantaran bersinggungan dengan budaya, tafsir agama, serta konsep patriarki yang telah mengakar. Kita pun mengingat sosok Malala, perempuan Pakistan yang memperjuangkan keadilan gender bahwa anak perempuan mesti mencecap bangku sekolah sebagaimana anak laki-laki.
Buku ini memotret holistik tema gender dalam perspektif psikologi. Mengkhususkan pada perkembangan gender anak. Ya, bila diteliti, mungkin terdapat semacam pemahaman/konsepsi terkait gender yang dijejalkan dan kemudian tertanam kuat di alam bawah sadar hingga menjadi sebuah doktrin. Siapa yang menjejalkan? Ada orang tua, lingkungan, budaya setempat.
Pelabelan menjadi alat untuk menstigmakan pada keberbedaan gender yang dikonstruksi. Bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis, bahwa anak perempuan kudu duduk manis, bahwa perempuan tak perlu bersekolah tinggi, dan lain-lain. Anggapan-anggapan seperti ini adalah buah dari konstruksi gender yang keliru dan cepat-cepat perlu pembenahan mendasar.
Yulia Ayriza selaku penulis buku kiranya melihat pembenahan atas pelabelan yang bias gender di masyarakat dimulai dari penanaman kesadaran atas konsepsi adil gender semenjak di usia dini. Sehingga, memberikan pemahaman kepada orang tua dalam memperlakukan si anak tidak sekadar urusan laki-laki atau perempuan. Melainkan menganggapnya sebagai pribadi unik dan mengotimalkan tumbuh kembangnya beserta potensi yang dipunya.
Buku referensi ini tidak sampai membahas soal-soal relasi gender kekinian. Namun, pembaca bisa melek literasi gender dengan terlebih dahulu mengetahui dan memahami seluk-beluk berkait gender. Yakni, pengenalan terhadap diksi-diksi gender dan teori dasarnya; sehingga pembaca tidak salah kaprah/salah paham kala membincang isu gender. Semisal antara diksi seks dan gender punya rumusan tersendiri meski amat berkait. Namun tidak sedikit yang menganggapnya sama. Pun dengan turunannya: identitas seks, identitas gender, orientasi seksual, stereotip seks.
Semenjak kecil, oleh orangtua dan lingkungan, anak laki-laki mestilah bermain sepak bola dan robot-robotan. Sementara perempuan bermain boneka dan masak-masakan. Contoh tersebut adalah gender sebagai definisi yang terkonstruksi secara sosial alias jenis kelamin sosial. Masyarakat telah menetapkan laki atau perempuan dengan pelbagai hal yang dianggapnya sesuai dengan kultur lokal. Sementara seks merupakan aspek biologis yang didapatkan individu saat lahir (halaman: 4).
Tercatat mengemukanya babakan gender di ruang publik setidaknya terjadi pada tahun 1950-an. Gerakan feminisme bermunculan di Eropa hingga kemudian mendunia sebagai respons atas pelbagai peristiwa yang tidak memihak; lebih-lebih posisi perempuan. Setuju atau tidak, sememangnya perempuan di banyak tempat dan kebudayaan, posisi dan perannya tidak signifikan. Perempuan dicukupkan perkara domestik.
Memafhumkan kesadaran semenjak dini atas perkara gender secara tidak langsung bakal menutup perlahan diskriminasi pada perempuan. Mengapa laki-laki tidak begitu relevan dalam persoalan ini? Lantaran konstruksi sosial itulah yang selama ini membikin laki-laki berada di atas alias selalu dimenangkan/diunggulkan. Karena itu, pembahasan gender amatlah urgen diberikan sejak kecil lantaran bakal berimbas pada tahap perkembangan kehidupan selanjutnya di segala bidang.
Konsepsi bias gender yang dikenalkan sedari kecil dapat membatasi ruang gerak ke depannya. Bahwa anak perempuan harus pandai masak, bahwa perempuan harus cekatan membersihkan rumah adalah satu kasus yang dapat membatasi perempuan itu sendiri untuk berkiprah di luar urusan domestik. Pun sebaliknya, tamsilan tersebut juga membatasi ruang gerak anak laki-laki itu sendiri yang nantinya tidak bakal cakap mengerjakan urusan domestik tersebut.