Otonomi daerah mengandaikan partisipasi aktif masyarakat untuk turut-serta mengembangkan potensi daerahnya. Banyak daerah berekonomi maju dan pesat laju pembangunan. Namun, tidak sedikit perkembangan daerah terjumpa berlangsung stagnan. Ujung tombak pembangunan, baik sumber daya manusia maupun infrastruktur fisik, memang berada di pundak kepala daerah. Meski demikian, kinerja becus nan apiknya, tentu butuh dukungan keandalan personal birokrasi yang menjadi pelaksana lapangan.
Beribu sayang, faktanya --menjurus celakanya, terbilang banyak kepala daerah beserta jajarannya menginjak polah culas dengan menyelewengkan uang rakyat (baca: APBD). Manajerial keuangan daerah sebagai simpul pembangunan digerogoti sedemikian banal-membabi buta. Merujuk data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2011-2018, sekitar dua ratusan pejabat daerah terjerat kasus korupsi. Sebagian besar melakukan korupsi pada penyusunan anggaran, pajak, retribusi daerah, pengadaan barang-jasa, belanja hibah, dan bantuan sosial (hlm: 9).
Buku ini mendedahkan agar pengelolaan keuangan daerah bertumpu pada transparansi dan akuntabilitas. Lantaran selama ini, format evaluasi yang ada baru berada di level penyerapan anggaran. Padahal, celah penyalahgunaan tidak saja terjadi saat pelaksanaan, melainkan dimungkinkan pula saat perencanaan. Mengambil contoh penerapan pengelolaan APBD di Kabupaten Garut, buku ini menawarkan skema komprehensif yang kemudian disebut "Manajemen Risiko".
Membedai istilah "Pengendalian Internal" yang selama ini sudah ada, Manajemen Risiko pengelolaan APBD menekankan pada optimalisasi fungsi-fungsi manajerial dengan lebih menukik dan integral; mulai tahap perencanaan hingga evaluasi atas pelaksanaan pembangunan. Apalagi, sampai saat ini, belum ada standar baku bersifat teknis untuk benar-benar dapat dijadikan rujukan utama pada manajerial keuangan publik (APBD). Perbedaan mencolok dan bernilai positif, Manajemen Risiko memuat variabel aturan teknis agar masyarakat bisa secara terbuka ikut mengawasi. Selama ini niatan publik tersebut selalu terbentur pada aksesibilitas informasi dan data (hlm: 11).
Good governance dan clean governance merupakan dua prinsip mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Upaya untuk mencapai itu perlu ditopang oleh sistem tata-kelola mumpuni. Utamanya, dan paling krusial adalah pengawasan sektor keuangan. Eksekutif selaku "pemegang" uang rakyat, mesti cermat membelanjakannya.
Fungsi pers dan legislatif sebagai "pengawas" kinerja kepala daerah, sememangnya berada di luaran sistem. Dengan kata lain, kedua pilar demokrasi tersebut sudah mengandaikan pihak eksekutif telah paham betul pengelolaan anggaran.
Para kepala daerah perlu mendengar seruan Institute of Internal Auditor (IIA); yang amat merekomendasikan penerapan Manajemen Risiko. Lebih-lebih, untuk diterapkan pada sistem birokrasi pemerintahan --yang terkata belum tersentuh. Bakal peroleh aneka jaminan bila Manajemen Risiko dijalankan kepala daerah, seperti: informasi keuangan dan operasional-nya menjadi layak dipercaya, kegiatan operasional tertangani sesuai rencana dan hasilnya juga sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan, dan penggunaan sumber daya bisa dilakukan secara ekonomis (hlm: 67).
Selain dampak positif di atas tersebut, Manajemen Risiko juga membawa imbas bagi watak kepemimpinan (leadership) seorang kepala daerah. Lantaran garis besar dan renik-renik Manajemen Risiko menuntut (baca: memaksa) seorang pemangku kebijakan untuk mampu secara cergas dan berani memberi arahan dan mengambil keputusan; berpunya kecermatan sekaligus pemetaan matang atas sebuah kebijakan yang diambil. Hal ini mengikis sikap asal perintah, asal tunjuk, asal bicara, asal membangun.
Rampung membaca buku aplikatif ini, ada pemahaman baru perihal korupsi pejabat daerah. Fenomena pejabat daerah koruptif boleh jadi bukan semata dikarenakannya rakus. Namun, bisa saja lantaran ketidakcakapan wawasan beserta aplikasinya dalam mengelola APBD. Karena itu, Manajemen Risiko teranggap urgen diketahui kepala daerah beserta jajarannya. Manajemen Risiko tidak saja sebagai upaya preventif menutup celah korupsi, tetapi juga memberikan arah sistematis, terstruktur, dan antisipatif; agar kebijakan pembangunan berjalan benar.
Mengabaikan Manajemen Risiko pada akhirnya menujukan nirkualitas dan nirkapabilitas seorang kepala daerah. Hal ini bisa dilihat dari janji-janji sewaktu kampanye dan implementasinya setelah menduduki kursi kekuasaan. Indikatornya, terlalu banyak gedung dibangun tapi berujung mangkrak. Infrastruktur macam jalan dan pasar yang digadang-gadang berdampak pertumbuhan ekonomi, justru nihil hasil dan jauh dari ekspektasi --karena minim kajian perencanaan. Pun, pada pembangunan yang asal membangun. Bila demikian, bukankah kesemuanya ini berujung penghambur-hamburan uang rakyat yang mesti dicegah bersama.
Data buku: