Selang-seling, buku memilih diksi PR dan Humas. PR merujuk public relation dan kemudian diterjemahpadankan menjadi hubungan masyarakat (Humas). Asal-muasal Humas adalah sejarah industrialisasi di negara-negara Barat macam Inggris. Saat dimulainya segala pernik-pernik korporasi, tak terkecuali persinggungannya dengan masyarakat sekitar perusahaan. Asap-asap tebal-hitam yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik, terhirup oleh orang-orang yang bermukim di sekitaran. Lantas, memunculkan dinamika relasi alias konflik antarkeduanya.
Satu sisi, industrialisasi yang lahir sekitaran abad ke-18, mengubahorientasi hidup dan habitus manusia. Hal kentara terletak pada dominasi perekonomian; keberlimpahan materi dan kekayaan. Namun, ada harga mahal yang mesti dibayar. Yakni, kerusakan lingkungan dan berkurangnya kualitas kesehatan --akibat paparan polusi dan limbah pabrik. Benturanpuntak terhindarkan. Di sinilah Humas termunculkan sebagai teori dan praktik. Menjadi semacam juru bicara perusahaan, ujung tombak, dan lebih-lebih berfungsi membuka ruang dialog dan negoisasi.
Sedang di Indonesia, sektor kehumasan baru dipraktikkan sekitar tahun 1970-an seiring gencarnya pembangunan dan masuknya investasi asing. Karena itu, studi kehumasan selalu merujuk teori-teori dari pemikir Barat. Meski demikian, buku ini, walau sekadar pengantar kehumasan, tetap bisa dielaborasi dengan pendekatan keindonesiaan. Di samping perbedaan kultur dengan masyarakat Eropa, Indonesia sebagai negara berkembang, tentu mempunyai kompleksitaskasus ketimbang di negara maju.
Penulis buku, Prof. Suwatno, lebih memilih pendapat J.E. Grunig dan T. Hunt untuk mendefinisikan Humas. Yakni, manajemen komunikasi antara organisasi dan publik-publiknya (hlm: 13). Ternyata, diksi "organisasi" tidak saja menujukan korporasi, melainkan meluaskan pada segala perkumpulan yang atributif. Karena itu, "organisasi" bisa berupa komunitas, persatuan-ikatan ini-itu, bahkan Negara. Meski demikian, labelitas Humas tetap melekat kuat pada domain perusahaan; lantaran aktivitas kehumasan memiliki tipikal seperti: event management, publicity, public information, community relations, dan government relations.
Sedangkan diksi "publik" juga diluaskan artiannya. Bukan sebatas pihak di luar korporasi. Bahkan karyawan pun bisa disebut "publik"; di mana memisahkan pimpinan perusahaan/pemegang saham selaku "organisasi" dan para buruh/karyawan sebagai "masyarakat/publik". Di sinilah peran PR/Humas untuk menjelaskan kebijakan pimpinan dan menjembatani dialog dengan karyawan. Berhasil-gagalnya PR/Humas terletak bagaimana cara tepat membahasakan kebijakan pimpinan sehingga gampang dimaklumi sekaligus menghindari narasi sumbang yang bisa-bisa sebabkan chaos, misal.
Kecakapan berkomunikasi dan bertutur merupakan platform yang harus dipunya seorang PR/Humas. Tak sedikit pimpinan hanya cakap memerintah tapi sukar menjelaskan isi pikiran menjadi tuturan runut. Itu pun belum termasuk soal cara/gaya penyampaian. Sementara publiksebagai objek,terdiri dari beragam latar belakang pendidikan dan budaya; di mana tidak selalu mengandaikan kesamaan persepsi. Karena itu, tidak berlebihan bila menyebut PR/Humas sebagai citra dan identitas perusahaan; di mana baik-buruk nama korporasi dibebankan.
Tak kalah penting, seorang PR/Humas juga mesti cakap berbahasa dan menulis. Porsi ini disajikan penulis buku secara berlebih. Keahlian menulis menukik pada kemampuan menulis berita, siaran pers, artikel fitur, dan pengelolan jurnal/media internal. Tak kalah penting, PR/Humas perlu memahami dunia jurnalistik beserta para pewarta selaku rekanannya. Kemampuan menulis sangat dituntut sebagai simpul profesionalitas dan kredibilitas perusahaan.
Seiring gerak pesat masyarakat era digital seperti hari ini, peran kehumasan turut bertransformasi. Bila dulu, PR/Humas terstigma "menjaga jarak", eksklusif, kaku, dan satu arah (monolog), kini berganti lebih akomodatif, komunikatif, cergas, dua arah, dan luwes. Apalagi, kehadiran media sosial menibakan tanggung jawabekstra; yakni,senantiasa tanggap dan peka atas pelbagai macam keluhan, kritikan, dan saran publik yang datang saban saat. Pengabaian protes publik atau lambannya respons PR/Humas bisa sekejap menjatuhkan citra sekaligus kelangsungan bisnis perusahaan.
Meski mengklaim sebagai pengantar, buku ini dilengkapi aneka studi kasus kehumasan faktual. Sembari mengajak pembaca lintas disiplin ilmu untuk turut menganalisis dengan berpijak pada seperangkat teori kehumasan yang telah dibabar sebelumnya. Jatuhnya pesawat Air Asia dan sikap perusahaan; ditutupnya tempat hiburan malam, Alexis, dan cara PR-nya merespons; mencermati penulisan artikel siaran pers --yang kerap keliru. Dus, tugas mereka senyatanya berat dan kompleks. Namun sederhananya, kehadiran PR/Humas adalah upaya menciptakan hubungan manis antarpihak. Bahkan dari mereka, kita bisa belajar cara merajut hubungan harmonis antarsesama.
Data buku:
Judul: Pengantar Public Relations Kontemporer