Bonus demografi tidak sekadar dilihat dari melimpahnya jumlah angkatan kawula muda. Bisa ditilik juga saat kaum muda menyesaki pusaran perkara intelektualitas macam tulis-menulis.
Ada ribuan mahasiswa baru tiap tahun. Kesemuanya bergelut dengan buku. Selebihnya, para mahasiswa lama dan yang telah usai diwisuda dan tetap bertungkus lumus dalam dunia merangkai kata seperti dosen, peneliti, dan pewarta.
Kesemua amsal identitas di atas menyibukkan diri dengan menulis. Bila satu orang menghasilkan satu tulisan per hari, tak berlebihan bila sampai angka jutaan tulisan pula dibuat. Sebagian kecil tulisan diendapkan. Selebihnya dikirim ke media massa, jurnal, penerbit buku, dan semacamnya. Bertumpuk-tumpuk artikel menyerbu ke ruang surat elektronik redaktur surat kabar. Editor penerbit buku pun kewalahan menerima berjibun naskah buku.
Para penulis pemula, manakala tulisannya rajin tertolak untuk dimuat, tak perlu berkecil hati. Gerak cepat teknologi-informatika menghadirkan sarana ampuh.
Adanya media sosial, blog, dan jurnalisme warga, telah dengan sendirinya melepaskan hasrat kepuasan untuk secara langsung menikmati sejenak apa arti "dimuat" dan "diterbitkan". Era digital seakan menjadi saluran baru kepenulisan yang tidak lagi menggantungkan media massa utama dan penerbit buku mayor.
Sampai kemudian bak air bah, berserakan tulisan di media sosial dan blog menghadirkan semacam malapetaka. Saat saban orang "bisa" menulis dan bisa langsung mengunggah, di situlah wabah info seperti hoax dan fake news merajalela.
Semua tema dan seluruh bidang kehidupan bisa dikemas menjadi kabar bohong; atawa setidak-tidaknya menjadi informasi yang tidak akurat yang bisa berujung kesalahpahaman.
Bisa dibayangkan sangat mengerikan manakala seorang awam ilmu medis dengan asal mencomot informasi sana-sini lantas dibuat tulisan berbumbu judul sensasional mengenai cara ampuh mengobati penyakit stroke.
Pada hari ini, kita memang dimudahkan untuk mencari informasi apa pun. Tiap detik, warta-warta terus diwedarkan; apalagi ketika kini media daring terus bertumbuh bak jamur di musim hujan. Sementara di sisi lain, menderas pula sajian-sajian iklan/advertorial yang setali tiga uang membikin bingung pembaca untuk membeli produk bermutu. Karena itu, rangkaian kata dalam bentuk tulisan (narasi teks) hakikatnya perlu ditinjau seksama. Lantaran tidak semua tulisan harus dibaca. Berita-berita pun perlu dipilah dan dipilih untuk dicermati tersebab tidak semua warta perlu diketahui.
Di sinilah fungsi keberadaan analisis tulisan. Analisis diperlukan agar pembaca tidak sekadar membaca. Sengkarut banjir informasi yang berkelindan banjir hoaks juga disebabkan minimnya awasan dan koreksi. Tiadanya fungsi editing oleh editor profesional atawa redaktur, boleh jadi sebabkan tidak sedikit tulisan-tulisan di media sosial dan blog seperti timbunan rongsok. Karena itu, buku ini di tiap bab memaparkan lengkap kiat-kiat menganalisis sebuah teks. Teks berjenis Opini, misalnya, sebuah genre tulisan yang menghadirkan kekhasan sudut pandang penulis secara populer. Jenis tulisan ini banyak digemari lantaran memilki nilai prestis berupa keaktualan isu sebagai parameter (hlm: 57).
Buku ini menyorot pula penulisan feature yang belakangan ini menjadi primadona seiring semarak jurnalisme warga; lantaran kekhasannya yang lebih luwes ketimbang Opini (hlm: 92).