Teladan toleransi dan kebinekaan sebenarnya sudah terpatri apik dalam kesehariaan masyarakat Indonesia. Di sudut perdesaan Lamongan, Jawa Timur, aneka romantisme pemandangan keberbedaan sekaligus kerukunan tampil rancak nan anggun.
Adalah Balun, desa yang dihimpun oleh setidaknya tiga pemeluk agama: Islam, Kristen, dan Hindu. Masjid, Gereja, maupun Pura bertetanggaan. Bahkan, ada satu rumah --relasi orangtua dan anak-- terdiri atas berlatar berbeda agama, kadung biasa.
Kala toleransi dirasa agak luntur, desa Balun sangat bisa menjadi tamsil pewedar kesejatian toleransi dalam konteks keindonesian. Tak berlebihan, bila Balun berjuluk "Desa Pancasila".
Pemandangan seperti di Balun atau bahkan lebih berwarna-warni lagi berkait atributif keindentitasan, sebenarnya sudah biasa kita temui di banyak daerah. Lebih-lebih di kultur masyarakat perkotaan yang secara alamiah berciri heterogen.
Percampuran dan pembauran lintas etnik dan termasuk agama, telah menjadi kekhasan suatu identitas perkotaan di manapun berada. Namun, Balun dalam sorotan yang lebih mendalam, menyibakkan keberlainan.
Yakni, saat keharmonisan keberbedaan/berbineka benar-benar dijaga sehingga tidak pernah ada gesekan sosial terpicu oleh suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Kerukunan telah awet berlangsung sangat lama.
Begitulah sebenarnya tipikal asli masyarakat Indonesia; ketika agama tidak ditempatkan sebagai pemicu konflik dan pertikaian. Perbedaan justru sebagai modal dan media membangun kerjasama.
Maka betul apa yang disampaikan Gus Dur dalam suatu dialog di televisi bahwa, bangsa Indonesia (baca: Nusantara) telah berabad-abad lamanya melakonkan hidup pancasilais meski tanpa nama "Pancasila".
Kesadaran dan fakta sejarah tersebut lantas mencapai puncaknya kala "Pancasila" sebagai de jure ditetapkan pada 1945. Tonggak kemerdekaan Indonesia tidak dimonopoli oleh hanya suatu etnis dan satu pemeluk agama.
Masing-masing pihak mempunyai saham perjuangan. Maka, menjadi tak etis, bila ada sebagian pihak merasa paling berjasa dalam kemerdekaan.
Bila dicermati, sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, telah memberikan artian atas keniscayaan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia. Perbedaan adalah semacam gen yang bermacam-macam pembentukannya.