Akses pendidikan bagi anak disabilitas/difabel terkata masih belum seluas anak-anak pada umumnya. Ada stigma yang kadung melekat bahwa, anak difabel kurang perlu mendapat kesempatan mendapatkan pendidikan. Keterbatasan fisik ataupun mental dianggap bakal tak membawa perubahan berarti kepada mereka. Stereotip macam ini perlu diluruskan.
Setiap kelahiran anak manusia merupakan anugerah besar bagi orangtua dan lingkungannya. Termasuk mereka yang disebut anak berkebutuhan khusus (ABK) ini. Lantaran saban anak memiliki keistimewaan dan potensi diri otentik (bakat/kecenderungan keahlian). Karena itu, dibutuhkan peran dan langkah tepat untuk memaksimalkan. Terutama sekali ditujukan kepada ABK; lantaran mereka memiliki ciri berbeda dengan anak pada umumnya. Mereka mengalami hambatan cukup berarti dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mental.
Jumlah ABK di Indonesia pada 2014 ditaksir mencapai 1,4 juta. Angka besar yang mesti mendapat pula perhatian besar. Buku ini menyorongkan kepada para orangtua ABK dan kepada masyarakat luas. Orangtua yang mempunyai ABK disegerakan langkah untuk mempunyai seperangkat ilmu dan praktik bagaimana langkah tepat cara menanganinya. Sedini mungkin, orangtua dituntut bisa secara mandiri mengidentifikasi jenis ABK; sehingga dapat melakukan tindakan apa yang harus dilakukan (hlm: 1).
Negara sudah mewedarkan seperangkat aturan pemuliaan pendidikan anak difabel. Termasuk layanan konseling dan terapi penanganan (hlm: 3). Melalui payung yuridis pada UU No. 20 tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta PP No. 17 tahun 2010 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Meskipun demikian, senyatanya ketersediaan pada akses pendidikan khusus untuk ABK masih terbilang minim.
Lewat buku tebal ini, Jati Rinakri membabar masih belum ideal kebutuhan belajar anak difabel dengan jumlah sekolah luar biasa (SLB). Seturut pula dengan minimnya guru bersertifikasi pendidikan luar biasa (PLB). Hal ini kiranya pula yang melatarbelakangi banyak ABK "dipaksakan" bersekolah di sekolah umum.
Memang, anak difabel semacam tunanetra dalam keterbatasan penglihatan tertentu, masih bisa bersekolah di sekolah-sekolah pada umumnya. Namun, dalam cakupan luas, hal itu tetap dirasa musykil. Lantaran tuntutan ketersediaan buku-buku braille beserta fasilitas pendukung lain, terbilang sulit diwujudkan. Meski demikian, apapun tingkatan keterbatasan fisik seorang anak, benang merahny adalah mereka wajib bersekolah.
Sebagaimana bahasan berkait tunadaksa, tunarungu, tunawicara, tunanetra, autisme; buku ini juga meliputi kajian disleksia beserta tata cara terapi. Menurut penulis, di samping menggunakan pendekatan teknis seperti belajar dengan menggunakan media gambar, tetapi selebihnya melalui pendekatan psikologis. Jangan pernah menyalahkan kondisi si anak. Menyalahkannya justru akan membuat dirinya makin depresi (hlm: 267). Karena itu, orangtua dan guru agar senantiasa meningkatkan rasa kepercayaan dirinya dan selalu mendampingi saat belajar.
Buku ini secara rinci mengajak pembaca menyelami dunia difabel. Penulis sebagai penekun pendidikan khusus difabel menguarkan masing-masing klasifikasi difabilitas beserta kebutuhan pendidikan yang sesuai bagi tiap klasifikasi. Anak autis, misal, tidak lantas bisa dipukul rata dengan menstigma sebelah mata, nirkemampuan. Autisme juga terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Dengan ketepatan model pendidikan, anak difabel berjenis autis bisa ditingkatkan kecakapannya; mulai kemandirian mengurus diri sendiri hingga berprestasi di ranah musik, misalnya.
Rinakri Jati tampak ingin meluruskan anggapan, bahwa salah besar bila difabel macam autisme, tunanetra dan sejenisnya murni merupakan as given/takdir yang tanpa sebab-musabab.
Secara medis saintifik, disabilitas bisa dicegah kemunculannya (hlm: 108). Ketercukupan gizi, pemeriksaan kesehatan rutin si ibu kala mengandung beserta kebersihan lingkungan berandil besar saat kelahiran si anak dan tumbuh kembangnya di usia emas (0-5 tahun). Walhasil, apapun keadaan fisik seorang anak Indonesia, Negara dan masyarakat wajib memberikannya akses pendidikan secara tepat, patut, dan optimal.
Data buku: