Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Itsbatun Najih

Aku Adalah Kamu Yang Lain

Beragama dengan ''Ta'abbudi dan Ta'aqquli''

Diperbarui: 3 Januari 2018   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: mizanstore.com

Pada kurun belakangan ini, perkembangan kehidupan beragama mengandung dua hal: pertama, gairah keagamaan yang beratribut pada simbol-simbol keseharian makin meningkat. Tren wisata halal, ekonomi syariah, umrah, dan lain sebagainya, telah menjadi identitas yang tak bisa dielakkan. Kini, seakan ada kesadaran untuk lebih berislam secara total (kaffah). 

Namun, pada saat yang nyaris sama, sembari muncul bias-bias atas pemahaman agama yang bersifat skriptualistik, hitam-putih. Hal ini kadang-kadang mengakibatkan muncul pula naluri keagamaan superioristik, merasa diri sebagai yang paling benar, membidahkan saudara seagama (baca: radikalisme).

            Kedua, muncul paradoks, kala tidak sedikit terutama kalangan muda yang perlahan namun pasti meninggalkan agama. Meninggalkan dalam arti menjurus atheisme. Selain alasan agama --sering distigmakan-- sebagai sumber konflik serta kegagalan menjalankan fungsi sebagai juru damai, juga dikarenakan semakin bertumbuh pesatnya ilmu pengetahuan yang berkesan ketiadaan peran Tuhan dalam sistem alam raya. Banyak paparan ilmuwan yang secara lantang menegaskan tentang ketidakterlibatan sama sekali Zat yang serba maha itu dalam terbentuknya alam semesta, tersaji luas di buku dan terutama internet.

            Terdorong oleh dua fenomena mutakhir di atas tersebut, Mulyadhi Kartanegara berikhtiar merampungkan buku terbarunya ini. Profesor alumnus University of Chicago ini ingin agar, lebih-lebih kaum muda sebagai sasarannya, tidak terombang-ambing dalam ketidakpastian beragama. Kita mafhum, usia muda merupakan usia pencarian jati diri. Di fase itu, kaum muda secara alamiah, berhasrat menanyakan seluruh identitas dan hal-hal subtil, termasuk agama dan eksistensi Tuhan. Penulis lantas prihatin bagaimana dalam kondisi itu, kaum muda yang masih labil penalaran sudah terjejali aneka pengetahuan atheistik di jagat maya.

            Dan sebaliknya, Mulyadhi yang kini mengabdi sebagai guru besar di Universiti Brunei Darussalam, juga menyayangkan banyak kaum muda yang religius-saleh (ta'abbudi) tetapi terkungkung dalam ruang lingkup dogmatis. Ayat-ayat keilahian dan saintifik sekadar diimani. Padahal, menurut Mulyadhi, teks-teks agama selain memang wajib yakini, tetapi mesti pula dilanjutkan dengan kegiatan penalaran (ta'aqquli). Apalagi, manusia secara fitrah dibekali akal, di mana fungsi utamanya untuk menggali tanda-tanda kebesaran Tuhan di alam raya. Dengan begitu, menjadi muslim kaffah adalah menyeimbangkan antara ta'abbudi dan ta'aqquli.

            Dalam buku ini, Mulyadhi secara sistematis memaparkan poin-poin penting dari banyak persoalan yang selama ini menjadi benalu atas pemahaman keagamaan. Seperti misal, apakah Tuhan memang ada? Kalau Tuhan itu ada, apa buktinya? Bagaimana juga proses terjadinya alam semesta? Apa hakikat alam? Serta soal dependensi dan otonomi alam. Pertanyaan-pertanyaan tersebut coba dijawab dengan penelaahan filosofis-teologis.

            Menariknya, Mulyadhi sebagai penggelut filsafat agama, menarasikan uraian dengan sederhana. Membedai buku-buku bertema sejenis yang sering dipaparkan serba akademik. Ada 14 persoalan teologis yang dipaparkan di awal sebagai prolog; lantas dibahas mendalam satu per satu, hingga kemudian dirangkum secara baik di bab akhir, epilog. Disertai catatan kaki dan banyak referensi membuat buku ini, meski gampang dicerna, menandakan tak kehilangan takaran ilmiahnya. Sama sekali meniadakan aspek apologia, serba pembenaran.

            Secara mendalam pula, Mulyadhi membabar aspek hakiki manusia. Bagaimana manusia menjalankan fungsi-fungsinya sehingga layak terlabel sebagai insan kamil, pribadi ideal. Senyatanya ada kewajiban terhadap dirinya seperti pemeliharaan tubuh serta kewajiban berilmu. Fungsi kepada keluarga antara lain pembelajaan harta secara benar dan mendidik anak. Pun, peran terhadap masyarakat dan negara dengan berpartisipasi aktif dalam kebutuhan bersama, berkehidupan sosial. Termasuk upaya penumbuhkembangan tenggang rasa dan jiwa toleransi (hlm: 262).

            Menjaga keimanan merupakan tugas pokok seorang yang mendaku beragama. Sekaligus  menuntut dirinya untuk selalu menguar hal-hal positif bagi lingkungannya. Dan, dari buku ini tersimpul pesan kuat bahwa untuk mencapai derajat insan kamil, beragama ideal mensyaratkan keseimbangan antara ta'abbudi dan ta'aqquli. Dengan iman kuat --berdasar penalaran (ta'aquli), seorang manusia tidak akan mudah goncang keyakinannya serta tidak gampang menghakimi sesat bagi sesamanya. Wallahu a'lam

Data buku:

Judul: Lentera Kehidupan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline