Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Itsbatun Najih

Aku Adalah Kamu Yang Lain

Siasat AQUA242 dan Fenomena Mendadak Gemuk di Hari Raya

Diperbarui: 14 Juli 2015   20:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Momen silaturahim saat Idul Fitri kadang-kadang menyelipkan semacam joke sarkastik. Terutama menujukan kepada si empunya perut busung, termasuk saya. Yakni, dugaan tidak berpuasa Ramadhan. Awalnya, saya menganggap joke semacam itu sekadar guyonan antarteman dan karib kala bersua. Tapi, amatan subyektif saya dari Lebaran ke Lebaran berikutnya selalu menghadirkan kebuncitan-kebuncitan baru, rupanya tidak saya saja. Dan, ini kemudian bermuara pada semacam kontemplasi-kontemplasian saya tentang fenomena mendadak buncit setelah puasa.

Padahal, puasa mengandaikan pengurangan konsumsi yang bila konsekuen itu dilakukan, yang tadinya kurus tetap menjadi kurus. Dan, yang berperut gendut menjadi sedikit kurus. Tidak sedikit orang gemuk –termasuk saya-- yang berkomitmen bahwa berpuasa sama dengan laku diet berpahala, sehingga nanti bisa tampil dengan bodi ciamik di hari fitri. Tapi, komitmen itu tinggal komat-kamit di bibir saja.

Banyak orang mendignosa fenomena itu karena makanan. Makan berlebih di saat berbuka, sehabis salat tarawih-sebelum tidur, dan di kala sahur. Makanan dianggap sebagai penyebab paling utama mengapa puasa menjadikan perut menjadi mengembang. Diagnosa macam itu mungkin saja benar namun perlu ditinjau ulang. Ya, masyarakat tampaknya menanggalkan faktor minum(an) sebagai unsur yang tidak kalah penting gegeran fenomena tersebut. Apatisme terhadap kemungkinan faktor minuman kiranya bisa dimaklumi karena dalam rutinitas konsumsi selama Ramadhan --setidaknya terhadap diri dan lingkungan saya, konsumsi air (hidrasi) terbilang sedikit, terlalu minim.

Bila pakar kesehatan mengidealkan hidrasi tubuh dalam sehari sebanyak 2 liter air, toh itu pun dalam praktiknya --setidaknya bagi lingkup keluarga saya, masih belum terlaksana. Apalagi saat Ramadhan, sepertinya masih menjadi tantangan berat. Mengapa?

Bisa dikatakan di hampir setiap tempat, Ramadhan merupakan festivalisasi kuliner pula. Saban sore di sudut-sudut keramaian, bertumbuh penjaja kuliner. Terutama minuman, aneka jenis es mulai es buah, es campur, es cendol, dan es-es lainnya benar-benar mengimajinasikan kesegaran penghilang dahaga. Apalagi Ramadhan 2015 bertepatan dengan musim kemarau. Di lingkungan saya, dan saya yakin pula di lingkungan Anda, penjaja minuman itu pasti kebanjiran pembeli. Hampir-hampir tiap hari, segelas minuman macam di atas itu wajib tersedia sebagai minuman wajib berbuka puasa.

Nah, minuman es yang kebanyakan manis-bersantan itu ajaibnya dibiasakan-dibisakan menjadi pengganti air putih. Bahkan belum dikatakan berbuka kalau belum minum es. Tamsil ini terjadi pada saya dan keluarga dan juga (mungkin) lingkungan Anda. Kebiasaan kami, setelah minum teh hangat kemudian menyantap makanan. Setelah itu, dilanjutkan konsumsi minuman es tersebut. Minum air putih? Setidaknya cukup segelas ketika berbuka. Selama malam merentang, konsumsi air putih kurang lebih hanya dua gelas. Di kala sahur, hanya mencukupkan segelas air putih. Jadi, selama Ramadhan, hidrasi tubuh hanya 4-5 gelas air putih per hari. Jauh sekali dari rekomendasi ahli gizi sebanyak 8 gelas.

Pun, takaran 8 gelas tersebut untuk gerak aktivitas kita pada umumnya. Jadi, bagi seorang pekerja berat atau yang menuntut aktivitas berlebih, tentunya konsumsi air putih lebih dari 8 gelas merupakan keharusan. Menyamakan dengan puasa, berarti harusnya konsumsi air putih tidak saja cukup dua liter per hari. Tapi, toh batasan “minimum” itu saja masih terabaikan. The Indonesian Hydration Regional Study (THIRST) pernah merilis bahwa 46,1 % masyarakat kita masih mengonsumsi air dalam jumlah yang kurang dibandingkan dengan kebutuhannya.

Padahal, air mempunyai fungsi vital bagi tubuh: sebagai pelarut, pelumas, pembentuk sel dan cairan tubuh, pengeliminasi toksin, dan pengatur suhu. Mengapa harus air putih? Karena merupakan cairan paling alami untuk tubuh serta tidak mengandung bahan pengawet, pemanis, dan pewarna. Sedangkan minuman bervitamin masih butuh waktu tidak sebentar untuk terserap dengan aliran darah. Lagi pula, tidak sedikit minuman bervitamin nyatanya mengandung banyak gula.

Diakui, berbekal konsumsi air putih tidak lebih dari 5 gelas, menyebabkan tubuh dirasa cepat lemas dan haus. Pun lebih cepat merasa lapar. Apalagi di jam-jam kritis (pukul 15.00-17.00). Ketika azan berkumandang, praktis si shaim (orang berpuasa) lekas menenggak minuman es tersebut dan melahap aneka makanan. Dan, itu berlaku sepanjang Ramadhan. Nah, pantas bila sehabis Ramadhan, perut bukan main gemuknya. Padahal, seperti kita ketahui bahwa minuman manis mengandung karbohidrat yang akan meningkatkan kadar gula darah. Muaranya, peningkatan gula darah memicu obesitas.

Mari bicara pengandaian. Andaikata, konsumsi air putih lebih dimaksimalkan, tentu fenomena mendadak buncit di hari fitri bisa dikurangi. Mengapa? Bila 8 gelas itu dikonsumsi mulai berbuka sampai sahur, tentu saja badan tidak akan cepat lemah dan mudah haus. Ketika tidak merasa begitu haus, tentu tidak memerlukan lagi konsumsi minuman es yang bersantan macam di atas. Menghambat pula gairah untuk makan berlebih; dikarenakan persediaan air putih yang cukup dalam tubuh. Bisa dikatakan, air putih dapat mengenyangkan. Bukankah tubuh kita 60 %-nya merupakan cairan.

Membedah AQUA242

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline