Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Itsbatun Najih

Aku Adalah Kamu Yang Lain

Tamsil Membumikan Bahasa Visi-Misi

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa perlunya visi-misi? Bukankah mempertanyakan hal itu sebagai keabsurdan.Namun, pertanyaan gugatan-reflektif tersebut berlandas pada kekerapan pengebirian. Visi-misi hanya semacam ritus yang seolah-olah kudu ditampilkan tercantum dalam dalam tiap pemilihan. Bahasa visi-misi adalah bahasa langit, klise, dan makro. Alhasil terlalu sulit untuk sekadar memahami apalagi menggugat lantaran bersubstansi serba baik. Kita mengamsalkan visi-misi setidak-tidaknya mampu membedakan hendak apa yang akan dilakukan setiap calon/kandidat dengan lebih menukik; bukan terbatas cakupan umum serba formalistik.

Kita khawatir visi-misi akan menjadi formalitas belaka lantaran hampir-hampir semua kandidat/calon bervisi-misi kurang lebih sama; atau bahkan sama persis. Maka, untuk mengukur calon/kandidat mana yang benar-benar konsekuen, bergagas orisinal, dan bisa membedai dari kebanyakan bahasa visi-misi secara umum diperlukan pencermatan komperehensif. Hal ini berkait erat dengan rancang program apa yang hendak dilakukan bila terpilih. Dus, bahasa program juga sering menimbulkan kerancuan dan kesamaan dengan visi-misi dengan kerap mengulang-ulang. Padahal visi adalah gambaran umum yangmenyempit menjadi misi kemudian diperjelas lagi dengan gelaran program --secara kongkrit.

Dalam konteks Pemilu 2014, sebuah rencana besar (masterplan) tak cuma dalam tataran bahasa klise. Kita akan memilih presiden yang akan memanej 240 juta jiwa. Indonesia memerlukan kepiawaian pemimpin yang tidak sekadar bervisi ambigu dan naif. Tapi, menawarkan solusi dengan mencakup perhatian besar/pengangkatan celah-celah/bidang-bidang yang selama ini belum dimaksimalkan. Dan, saya menemukan hal yang berbeda pada bahasa visi-misi plus program pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta. Meski masih terkooptasi oleh keumuman bahasa visi-misi, tapi toh masih dijumpa banyak celah-celah itu yang kemudian dirasa penting dan menyasar untuk dikaji.

Simaklah ketika Prabowo-Hatta menempatkan stimulus pencapaian pada kualitas bangsa yang tertuju pada penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan tekonologi) dalam visi-misinya. Pasangan capres itu sadar dan mengerti konteks pada perkembangan zaman yang semakin beroreintasi pada kemumpunian penguasaan iptek. Kita acap prihatin manakala para ilmuwan dan peneliti anak bangsa ini terpaksa bekerja di luar negeri tersebab negara kurang memprihatikan kesejahteraan plus minimnya apresiasi pada sebuah pencapaian perkembangan iptek. Indonesia sebagai pasar mesti diubah sekaligus menjadi pemain, bukan sekadar konsumen hasil iptek negara asing.

Saya berharap Prabowo-Hatta berpunya komitmen nyata dengan memajukan kembali industri penerbangan PT Dirgantara. Saya pun berharap kita mencontoh Malaysia yangbangga berpunya mobil nasional dan laris di pasar internasional. Kiranya apabila dua industri tersebut digenjot, Indonesia dapat berperan banyak dalam konteks iptek yang berbasis stimulus ekonomi. Jalan instan yang bisa diambil ialah dengan penyediaan tenaga unggulan dengan cara memanggil pulang ilmuwan-ilmuwan kita ke Tanah Air guna membangun bangsa. Kedua, menggalakkan kembali Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai basis penempaan keahlian.

Pada penjabaran misi poin enam tertulis: Mewujudkan Indonesia berperan penting dalam perdamaian dunia serta konsisten menjalankan UUD 1945 dan Pancasila. Saya sebagai pembaca awam tebersit gugatan reflektif atas sikap politik luar negeri kita: bebas-aktif. Frasa “bebas” yang diartikan tidak memihak/mendukung salah satu blok kekuatan dunia justru berasa ambigu. Alih-alih agar menempatkan diri dalam posisi netral, namun bagi saya hal itu justru sebagai sikap tidak jelas. Kita seperti tidak berani menentukan posisi apabila terjadi sengkarut internasional.

Maka penggunaan kalimat berperan dalam perdamaian dunia terasa lebih pas dengan artian dapat berperan lebih aktif dan tidak menutup kemungkinan untuk memihak atau berada dalam kubu/blok tertentu dengan tetap berpijak pada “kebenaran/kemanusiaan”; bukan hasrat imperialisme. Prabowo Subianto berangkat dari tempaan kemiliteran tentunya punya segudang pengalaman dan mengerti perihal aspek pertahanan nasional dan bagaimana mendudukkan posisi Indonesia.

Prabowo-Hatta memasukkan pula komitmen menjalankan UUD 1945 dan Pancasila. Hal ini bukan terlihat klise. Justru sebaliknya; bahwa dua hal itu mendasari sebuah pembangunan pemerintahan sebagai jati diri asli masyarakat Indonesia. Keduanya adalah penyekat dan penguat yang mengikat kita di atas kepentinganprimoridial–sekatarian.

Dus, teramat capres memasukkan urusan pelestarian lingkungan hidup ke dalam visi-misinya. Di tengah dampak pemanasan global yang sudah kita rasakan bersama maka urusan lingkungan tidak bisa dianggap remeh. Hal ini menjadi urusan hidup-mati karena bumi menjadi satu-satunya tempat tinggal kita. Dengan komitmen mewujudkan Indonesia yang hijau dan lestari berarti bersubstansi pada seluruh kebijakan Prabowo-Hatta praktis bersandar atas kearifan wawasan lingkungan. Dan, hal itu dapat diperluas cakupannya dengan semisal langkah reboisasi dan penerapan hukuman berat tindak illegal logging. Reboisasi teranggap penting karena hutan kita menjadi paru-paru dunia. Lebih jauh, bagaimana kita sebagai negara berkembang perlu meminta kesediaaan negara-negara maju untuk peduli terhadap lingkungan atas praktik industralisasinya di Indonesia.

Sama-sama bervisi kedaulatan, tapi kredit poin Prabowo-Hatta ialah lebih tertuju pada pengembalian atas kedaulatan pangan, energi, serta sumber daya alam di saat kekayaan alam kita lebih dinikmati kalangan asing. Dan, ketika hampir-hampir seluruh pangan untuk mencukupi perut rakyat Indonesia justru terjejali oleh impor beras dari Thailand dan Vietnam. Pun, candu impor semakin menjalar pada aneka impor pangan lainnya: ubi, jagung, bahkan garam mesti diimpor. Ironis, ketika kita tercap sebagai bangsa gemah ripah loh jinawi. Semua ini terjadi lantaran telah salah urus/tata kelola. Dus, Prabowo Subianto dalam iklannya selalu menitikberatkan pada persoalan penciptaan kemandirian pangan. Gagasan revolusi putih adalah salah satu inisiasi brilian atas upaya pemunculan kembali kedaulatan pangan.

Dalam program poin empat tertulis: meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan melaksanakan reformasi pendidikan. Frasa “reformasi pendidikan” menjadi kata ampuh ketika pendidikan kita masih terseok-seok. Prabowo-Hatta seakan ingin menghapus gelaran tahunan Ujian Nasional (UN). Ya, UN mesti dihapus karena telah menyalahi pengembangan karakter peserta didik. Reformasi pendidikan tentunya mempunyai banyak cakupan semisal: pemerataan kualitas/sarana-prasarana pendidikan mulai Sabang sampai Merauke, perhatian pada kesejahteraan guru dan terutama mewujudkan program Wajib Belajar 12 tahun yang sering diutarakan Hatta Rajasa dalam kampanyenya.

Mempercepat pembangunan infrastruktur adalah poin keenam yang juga ditampilkan sebagai bahasa rigid. Ketika pembangunan selama ini masih berfokus pada Jawa Oriented.Mengalpakan pembangunan insfrastrukur di Indonesia Timur. Hal yang paling urgen dan bila berkehendak belajar dari Tiongkok ialah dengan membangun prasarana jalan dan jembatan sebagai eleman fundamental dalam rangka percepatan peningkatan ekonomi.

Perihal bahasa program/visi-misi yang kongkret ialah mewujudkan pemerintahan yang melindungi rakyat, bebas korupsi, dan efektif melayani. Bebas korupsi menjadi program penting karena Indonesia semakin terperosok dalam kubangan praktik korupsi yang akut. Jelasnya, Prabowo Subianto berkomitmen memperkuat fungsi dan kewenangan KPK terutama dengan menambah jumlah anggota KPK.

Visi-misi adalah aspirasi capres untuk ditawarkan pada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga beraspirasi dengan mengandaikan pelaksaanan visi misi capres benar-benar diimplementasikan. Tidak hanya sekadar menjadi keformalan belaka. Dengan penciptaan visi-misi yang rigid dan detail, masyarakat tentunya bisa mengambil ukuran dan penilaian ketika Prabowo-Hatta menjalankan roda pemerintahan. Hal ini menyiratkan adanya kontrak politik. Sebaliknya, bahasa visi-misi yang melangit dan mengawang tidak lebih dari pepesan kosong lantaran masyarakat tidak memiliki parameter sukses-gagalnya sebuah pemerintahan. Walhasil, kita mestinya sudah bosan dan jenuh dengan bahasa visi-misi yang mengawang-awang tak tentu arah, bukan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline