Lihat ke Halaman Asli

SBI/RSBI lantaran Seorang buta meraba gajah

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

RSBI / SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) dalam seminggu ini ramai diperbincangkan di media massa. Diawali dengan pertemuan Ikatan Guru Indonesia dengan Komisi X DPR RI lalu tanpa sengaja ternyata pada hari berikutnya British Council – NGO pemerintah Inggris menyelenggarakan simposium dengan mengambil tema SBI/RSBI di Indonesia – dari kebijakan sampai pelaksanaan. Ketiga perhelatan tersebut tampaknya membuat pihak-pihak terkait harus berfikir untuk mencari hal-hal yang akan mendukung argumen atau pembenaran masing-masing. Pihak-pihak tersebut antara lain adalah pemerintah, sekolah, orang tua murid, anggota komisi X, pemerhati dan peneliti pendidikan. Masing – masing mempunyai definisi sendiri-sendiri bagaikan seorang buta meraba gajah, karena semua pihak melihat dari sisi yang mereka yakini benar.

Anggaplah SBI/RSBI ini seekor gajah, maka pihak pemerintah akan mendefinisikan sesuai dengan bagian yang dirabanya. Pemerintah sebagai pihak pembuat undang-undang dalam hal ini meraba bagian lain dari gajah dan sudah barang tentu mendefinisikan agar undang-undang tetap berjalan karena syaratnya memang demikian. SBI/RSBI bagi pemerintah adalah amanah undang-undang yang harus dijalankan. Tentu saja hal tersebut tak dapat dibantah karena undang-undang terlanjur dikeluarkan dan dilaksanakan. Presidenpun harus patuh terhadap undang-undang. Bunyi undang-undang tersebut adalah bahwa di setiap kabupaten dan kota di Indonesia Sebagaimana layaknya yang sering terjadi persoalan mulai muncul dalam implementasi undang-undang di lapangan.

Undang-Undang Nomor 20  tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) pasal 50 ayat 3 menyatakan bahwa pemerintah dan /atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Undang – undang ini lantas diterjemahkan secara simplistik di lapangan karena memang petunjuk pelaksanaannya sampai hari inipun masih simplistik dan simpang siur. Kesimpang siuran pola pelaksanaan itulah yang kemuadian membuat penyelenggaraan SBI/RSBI menjadi ‘ngawur’. Dalam kengawuran dan ketidak jelasan itulah lantas program yang katanya bertujuan meningkatkan daya saing bangsa ini menjadi ajang pentas yang penuh sensasi dan melibatkan dana triyulnan rupiah. Saat ini sudah ada 1.100 sekolah SBI/RSBI di semua jenjang yang dengan hitungan kasar jika satu sekolah mendapat kucuran dana 500 juta dalam 3 tahun maka dana APBN yang tersedot bagi kelompok yang teruntungkan tersebut adalah lima ratus lima puluh lima milyar rupiah. Jumlah tersebut belum dana APBD yang digelontorkan oleh pemerintah daerah dan dana sumbangan orang tua murid.

Selain ketidak jelasan penggunaan dana, yang mungkin lebih mengkhawatirkan adalah implikasi terhadap proses belajar anak-anak yang dapat berakibat fatal pada hasil kemampuan berfikir mereka. Pada saat ini implikasi akademis RSBI rata-rata adalah dalam bentuk diterapkannya pengajaran matematika dan IPA dalam dua bahasa dan adopsi adaptasi kurikulum dari Negara lain atau dari agen penyedia test, seperti misalnya Cambridge. Kedua hal tersebut saja, berdasarkan hasil beberapa kajian telah menimbulkan persoalan besar. Pengajaran dua bahasa menuntut kemampuan bahasa inggris yang sangat tinggi dan adopsi adaptasi kurikulum juga memerlukan keahlian yang spesifik, tidak cukup hanya dengan sekadar menambah dan mengurangi urutan materi. Yang perlu diingat adalah jika implementasi ini membawa dampak kerugian dana saja tentunya bisa disamakan dengan perusahaan bangkrut nantinya bisa ditukar. Kerugian dalam ‘output’ siswa tidak akan bisa dibayar dimasa dating karena memang umur tidak dapat ditarik mundur. Dalam hal ini menjadi bulan-bulanan tentu saja adalah sekolah.

Dengan versi yang berbeda-beda sekolah yang terSBI dan terRSBIkan memberikan definisi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengatakan bahwa SBI/RSBI memang memberikan dampak positif karena guru-guru mendapat pelatihan lebih baik dan lingungan sekolah menjadi asri, hijau penuh tanaman. Administrasi tertata karena ada tantangan berupa pengujian dengan alat ISO. Kurikulum lebih mendunia karena mengadopsi dan mengadaptasi dari kurikulum negara maju atau mengikuti kisi-kisi ujian internasional, seperti misalnya IGCSE dari Cambridge International Examination. Jelas hal tersebut mudah dibuktikan administrasinya saja, karena pelatihan guru hanya akan tampak hasilnya bila jumlah jam pelatihan cukup dan dampak dalam pembelajaran di kelas terus menerus di monitor. Banyak sekolah tanpa ISO pun tetap berjalan baik administrasinya. Faktor X yang diminta oleh pemerintah sebagai kelebihan sekolah SBI terjemahannya rata-rata bilingual dan dana banyak digunakan untuk pelatihan guru atau mengambil guru dari luar atau pendampingan dengan universitas. Tanpa meneliti terlebih dahulu beberapa sekolah menambah kurikulum Indonesia yang sudah berat dengan kurikulum Cambridge katanya. Padahal Cambridge menyediakan kurikulum untuk kepentingan test semata.

Sekolah SBI dan RSBI lantas sibuk cari pelatihan tambal sulam dan pada akhirnya beberapa penyedia jasa pelatihanatau software berlomba-lomba mengiming-iming macam-macam pelatihan. Tampaknya yang paling diminati adalah pelatihan untuk membuat guru dapat menagjar dalam dwi bahasa. Jelas saja hal ini sekedar saja hasilnya, karena belajar bahasa Inggris untuk kepentingan yang lebih ilmiah memerlukan waktu yang sangat panjang yaitu antara 7 sampai 10 tahun (Jim Cummins). Di sejumlah sekolah saya menemui guru yang mengajar dengan pengucapan yang sayapun tak mengerti. Janga-jangan gara-gara bilingual anak-anak semakin mundur pemahamannya. Tak akan pernah mungkin pelatihan 30 jam akan membisakan guru yang kemampuan awal bahasa Inggrisnya rendah untuk mengajar dwi bahasa.

Para orang tua murid yang memang berasal dari berbagai kalangan, mendefinisikan SBI/RSBI paling sedikit dalam tiga kategori. Kelompok ini sepertinya memegang bagian kepala gajah. Ada yang menyentuh dahinya, ada yang menyentuh matanya dan ada yang menyentuh pelipisnya. Tiga-tiganya diuraikan berbeda.

Bagi orang tua yang pemahaman pendidikannya tidak terlalu luas tetapi uangnya banyak, maka SBI/RSBI adalah ajang pencitraan. Terlepas dari anaknya memang berkemampuan intelegensi bagus atau tidak menyekolahkan anak-anaknya di SBI/RSBI membuat mereka bisa menambah koleksi alat membanggakan keberhasilannya. Mereka seolah terpandang sebagai orang tua kaya dan sukses mendidik. Sedangkan bagi orangtua murid yang agak kaya dan anaknya mampu diterima di SBI/RSBI namun mereka tidak terlalu peduli apa yang diterima oleh anak mereka, tampaknya mereka menerima saja. Kelompok berikutnya adalah orang tua murid yang merasa anaknya berkemampuan kecerdasan menonjol dan memiliki pengetahuan relatif luas untuk memandang bagaimana sebuah proses pendidikan selayaknya dilaksanakan, maka mereka resah. Resah memikirkan apakah anaknya terjamin akan memperoleh pendidikan lebih baik dan resah apakah dana yang mereka sumbangkan telah dikembalikan dalam bentuk kualitas.

Dalam sistem pemerintahan negara Indonesia, anggota DPR di komisi X mempunyai kewajiban legal formal untuk meluruskan kedudukan undang-undang SBI ini. Mereka harus tak henti-hentinya berdialog dengan berbagai pihak untuk meninjau kembali undang-undang tersebut. Anggota komisi ini mestinya memahami betul kondisi di lapangan dan mendesak pemerintah untuk membuktikan bahwa dana APBN untuk pendidikan yang memang sengaja dinaikkan tidak terhabiskan hanya untuk kepentingan sebagian sangat kecil rakyat Indonesia. Sekolah adalah tempat mencetak generasi bangsa di masa depan sehingga diperlukan pemikiran, perencanaan, pengamatan pelaksanaan, dan evaluasi yang cermat pada tingkat proses belajar mengajar.

Sudah dapat dibayangkan yang paling merasa gemas adalah pengamat dan peneliti pendidikan yang melihat secara langsung detail penyelenggaran pendidikan di sekolah-sekolah SBI/RSBI. Mereka geram karena ada beberapa hal pokok yang diabaikan oleh berbagai pihak yang teruntungkan. Mereka geram karena gelontoran dana yang berlebihan ke sekolah-sekolah tersebut tidak jelas penggunaan dan dampaknya padahal jutaan anak Indonesia pada usia SD dan SMP banyak yang terpaksa berhenti sekolah atau belajar di sekolah-sekolah dengan falsilitas seadanya. Merekapun miris karena dalih pengajaran matematika dan IPA dalam dua bahasa nyaris merupakan iming-iming belaka. Kalau guru bahasa Inggris sebagian masih menggunakan bahasa Indonesia dalam mengajar lantas bagaimana yang lain. Yang jelas mengkhawatirkan adalah posisi bahasa Indonesia yang berpotensi hanya dianggap bahasa kedua di negerinya. Belum lagi dampak sosial yang membuat anak-anak mensahkan penciptaan jarak sosial. Alhasil bagi kelompok yang peduli SBI/RSBI tidak layak dilanjutkan.

Tapi jangan salah, program ini juga dicetuskan oleh para pakar dari berbagai lembaga tinggi yang menganalisa berdasar berbagai teori bahwa sekolah model SBI/RSBI itu layak dikembangkan di negeri ini. Kajian teori mereka saat ini, sebelum meloloskan niat pemerintah pasti kuat. Hanya sayangnya ketika sudah diundang-undangkan mereka tidak memberikan perangkat lunak yang memadai untuk kepentingan implementasi di tingkat sekolah. Akibatnya pada usianya yang ke 7 tahun ini SBI/RSBI tetap menuai konflik. Para pakar pencetuspun saat ini sedang bingung menyaksikan perhelatan di lapangan yang namanya sekolah.

Saat ini para peraba gajah sudah waktunya untuk menyusun definisi gajah secara bersama-sama sehingga amanat UUD 45 dalam aspek pendidikan dapat terwujud secara adil.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline