Lihat ke Halaman Asli

Ita Yunita

Sambal Bangjo

Ketumbar

Diperbarui: 27 Maret 2017   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengenal butir-butirnya di dapur rumah, saat ibu melakukan ritual memasak untuk keluarga. Ibu menggerus butir-butir Ketumbar usai menyangrainya, membubuknya dan menambahkan bumbu lain ke dalam lumpang batu hitam tua peninggalan nenek.

Unggas-unggas di pekarangan belakang rumah telah selesai disembelih, dibersihkan dan siap menerima baluran berbagai bumbu rempah yang telah luluh lantak dalam lumpang batu itu. Bau tajam Ketumbar masih tercium di hidungku, saat daging-daging unggas itu mulai memasuki belanga. Rutinitas ritual dapur adalah pertemuan-pertemuan intensku dengan Ketumbar.

Nun, bertahun-tahun kemudian, aku mengenal Ketumbar dengan lebih intim. Persalinan pertamaku membawa keintiman itu. Usai melewati perjuangan semalam penuh dengan segala peluh, ibu membawakanku ramuan kering berisi aneka rempah, daun-daun hutan, akar-akar tanaman hutan hingga beberapa bumbu dari dapur termasuk bau itu, bau Ketumbar. Seorang paraji desa telah menjelajah hutan mencari berbagai dedaunan dan akar, menyangrainya dengan berbagai bumbu dapur, menumbuknya hingga halus. Mereka menyebutnya Jamu Peluntur, jamu bubuk kering bagi seorang perempuan yang telah rampung berjuang sepertiku.

Dan, kini….aku menyangrai butir-butir itu….mejumput beberapa butirnya, menggigit dalam getas geligi. Aku menikmati dengan sungguh butir-butirnya, mengunyah dan mencecap rasa gurih getir di dalam rongga mulut. Mencecap segala perjumpaan kami dalam berbagai peristiwa.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline