(11 Mei 1962-27 April 2024)
Mas Radhar Panca Dahana almarhum kagum betul kepada Joko Pinurbo. Apa pasal? Karena pada suatu hari mereka berjumpa, Joko Pinurbo menafsir satu puisi Mas Radhar, dan benar.
Hebat dia, baru dia yang tahu makna puisi itu, ucap Mas Radhar.
Pada satu masa saya bekerja di majalah Femina (2003-2008). Waktu itu bulan Februari, dan saya sedang menangani produk Molto. Molto akan meluncurkan produk baru di bulan Valentine dan ingin dibuatkan advertorial dengan satu puisi di dalamnya. Penulis puisinya, boleh siapa saja.
Siapa ya, pikir saya.
Nama Jokpin sedang naik daun. Saya kontak beliau, bertanya apakah berkenan membuat puisi untuk tampil bersama brand Molto. Mas Jokpin setuju. Dalam jangka waktu beberapa hari beliau mengirim hasilnya: Puisi Merah Jambu. Kami belum pernah jumpa.
Sekali waktu saya diundang ke festival sastra di Desa Ponggok, Klaten, Jawa Tengah. Di desa itu banyak sekali mata air, dan airnya berbual-bual. Saya dan Mas Joko Pinurbo, dalam acara santai, bersama penyair Makassar Aan Mansyur, menjadi narasumber, berbicara tentang pengaruh kota (kelahiran) dalam berkarya.
Aan Mansyur berkisah kekayaan memorinya tentang kota Makassar, dalam puisi-puisinya. Sementara saya dan Jokpin --ternyata kota kelahiran kami sama, di Sukabumi - tidak terlalu terbawa sentimental kota (kelahiran) dalam karya.
Beberapa bulan lalu saya mendengar Joko Pinurbo sakit. Cukup lama juga. Dari status beberapa kawan penulis dan penyair di media sosial mereka, saya mengetahui kedaan Jokpin. Mereka menengoknya ke kediamannya di Yogya.
Dan hari ini, di satu WAG, pagi saya membaca kabar tentang berpulangnya Jokpin. Dan saya mengenang segala kenangan tentangnya.
Puisi-puisinya yang sederhana dan bersih, dan kedalaman yang bikin tercenung, puisi yang berima dan bermain, getir dan jenaka. Puisi-puisi yang khas dirinya.