Lihat ke Halaman Asli

Ita Siregar

Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Teologi Kecemasan: Jalan Merengkuh Keutuhan?

Diperbarui: 26 April 2024   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teks Alan Darmasaputra*

 
Bahagia itu tidak penting. Masalahnya, kita tak tahu apa yang kita mau. Yang bikin bahagia bukan karena kita mendapat apa yang kita mau. Tetapi karena memimpikannya. Bahagia itu bagi  para oportunis. Kepuasan hidup yang mendalam adalah hidup yang senantiasa bergumul, terutama dengan diri sendiri. Jadi mau bahagia terus, tetaplah bodoh." -- Slavoj iek (The Puppet and The Dwarf)

Pada 2013, grup band metal Dream Theater asal Amerika, sudah menulis lagu The Enemy Inside. Liriknya menggambarkan pergulatan seseorang menghadapi pengalaman pasca trauma, menghadapi musuh imajiner yang tak lain adalah diri (dan imaji) sendiri. Lagu itu berlatar para veteran dan korban perang.

I'm running from the enemy inside/looking for the life I left behind/these suffocating memories are etched upon my mind/and I can't escape from the enemy inside. (aku lari dari musuh dalam diriku/mencari hidupku yang lama/goresan kenangan yang menindas benakku/dan aku tak mampu kabur dari musuh di dalam diriku).

Mana lebih mengerikan: menghadapi obyek yang mustahil ditaklukkan atau ketidakjelasan obyek yang dihadapi?

Konon, masalah utama manusia zaman now adalah kecemasan. Kecemasan adalah musuh di dalam diri yang gagal diobyektifikasi. Kecemasan menghantui keseharian. Sejak boker pagi sampai berkeringat malam di kamar ber-AC. Ia nyelonong ketika kita ingin rileks. Sialnya, ketika kita berusaha menjelaskan keberadaannya, seketika ia lenyap.

Kecemasan adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak familier, tidak dapat dikendalikan. Pada sisi lain, manusia merindu kebaruan, terobosan, sesuatu yang lebih daripada hari ini.  

Kita coba tengok ke belakang dari perspektif penciptaan. "Bumi belum berbentuk dan kosong (formless void; KJV); gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air" (Kejadian 1:2).

Ada dua hal menarik di sana. Pertama, penciptaan berangkat dari stabilitas (void) yang dirusak. Dalam prinsip sains, void dilukiskan sebagai kondisi atom yang berada dalam kondisi tidak aktif sepenuhnya. Diam dan stabil. Di tengah kestabilan itulah, penciptaan menerabas.

Kedua, penciptaan ditandai dengan Yang Ilahi menghampiri kekacauan (dilambangkan dengan air dalam tradisi Yahudi kuno). Artinya, yang melampaui dan baru tak jarang beriringan dengan sesuatu yang asing, acak, tak tertebak.

Kita melihat dua sisi penciptaan. Kestabilan yang dirusak dan kebaruan yang asing. Dari kacamata ini, alih-alih memandang ironi kecemasan, barangkali kita dapat melihatnya sebagai bagian dari citra Ilahi yang senantiasa merindu pembaruan, hasrat yang melampaui hari ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline