Lihat ke Halaman Asli

Ita Siregar

Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Dietrich Bonhoeffer

Diperbarui: 23 April 2024   07:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Dietrich Bonhoeffer (4 Februari 1906-9 April 1945) 

Oleh Ita Siregar 

Senin dini hari pada 9 April 1945 di kota kecil Flossenburg, Jerman. Seorang laki-laki 39 tahun memberi isyarat kepada petugas untuk menunggu. Lalu ia berlutut, berdoa dengan khusyuk. Setelah itu ia berdiri, melepas pakaian penjara. 

Seorang perwira membacakan vonis hukuman mati. Bertelanjang dada, laki-laki tadi melangkah tenang ke tiang gantungan, menaiki tangga. Kedua tangannya menarik tali gantungan, memasukkan kepalanya ke sana. Seluruh dirinya telah siap. Perwira memberi perintah kepada algojo di ujung sana untuk memutus tali. Dalam sekejap, satu tubuh tergantung lepas di udara.

Laki-laki itu bernama Dietrich Bonhoeffer. Dia martir di antara 12 juta orang yang dibunuh oleh kekejaman pemerintahan Adolf Hitler.

*

Dietrich kecil menghabiskan masa remajanya di Breslau. Ia bersaudara kembar perempuan, Sabine. Pada 1912 keluarganya pindah ke Berlin. Ayahnya, Karl Bonhoeffer, seorang ahli saraf terkenal. Ia menanamkan disiplin dan kemandirian kepada delapan anaknya, Dietrich anak keenam. Mereka dibesarkan dalam tradisi Lutheran.

Mereka menentang Nazisme dan banyak membantu Yahudi. Semua kakak Dietrich kebanyakan pengacara dan ilmuwan. Ketika ia memutuskan untuk sekolah teologi, keluarga menentang.

Gereja sangat membosankan, ketinggalan zaman, penuh kemunafikan, ujar mereka. Dietrich merespons, kalau begitu aku akan mengubahnya. 

Tiga tahun ia kuliah di Universitas Tubingen. Pada usia 19 tahun ia menjadi doktor teologi dengan peringkat tertinggi. Khotbah pertamanya di Gereja Stahnsdorfer Berlin, berkata, "Kekristenan berarti keputusan, perubahan, penyangkalan, permusuhan terhadap masa lalu, dan orang-orang kolot."

Pada tahun 1928 ia menjadi pendeta di gereja Barcelona di Spanyol. Jemaatnya kebanyakan diplomat dan pengusaha yang tak tersentuh peristiwa negeri mereka. Sikap kolot jemaatnya membuat Dietrich tak tahan. Hanya setahun, ia pulang ke Jerman. Ia menulis tesis agar dapat menjadi dosen. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline