Siapa di antara kita yang mengingat petani meski ketika kita makan nasi? Saya hampir tidak pernah untuk mengatakan tidak pernah. Tiga tahun belakangan saya tinggal di satu kabupaten di Sumatera utara. Di daerah saya lebih berkesempatan untuk melihat hijaunya sawah dan peristiwa musim-musim bertani daripada ketika saya tinggal di Jakarta. Ini pun tidak dengan serta merta saya dengan penuh memikirkan petani sebagai pihak pertama yang menghadirkan nasi di piring saya.
Di sisi lain saya bersyukur atas ibu saya almarhum yang mengingatkan kami anak-anaknya di meja makan untuk menghabiskan nasi di piring, hingga butir terakhir. Nanti nasinya nangis, begitu alasan ibu. Itulah yang menumbuhkan rasa sayang saya pada nasi dan kebiasaan menghabiskan nasi di piring saya.
Saya punya kawan yang usianya lebih dari setengah abad. Ia pernah bercerita tentang peristiwa masa kecil di meja makan. Ibunya mengajar dia dan saudara-saudaranya untuk berterima kasih kepada ibu dan bapak petani, sebelum mereka makan. Dari cerita ini saya ingin menegaskan bahwa romantika beras dan nasi dan petani lebih berbunyi pada orang-orang yang berusia lima puluh tahun ke atas.
Dan hari ini, tahun 2023, masa dunia digiring perhatiannya pada yang serba digital. Kita menyaksikan di media sosial Presiden Joko Widodo bertanya cita-cita kepada seorang anak kecil yang dijawab ingin menjadi youtuber. Kita tertawa. Namun itulah cita-cita anak-anak generasi ini.
Kisah di atas menandakan makin terfokusnya manusia masa kini pada hal-hal instan dan segera menghasilkan uang. Kekhawatiran Gita Wirjawan pada satu penelitian yang mengatakan bahwa lebih 70% waktu anak-anak remaja habis dengan gadgetnya, menjadi sangat relevan. Kapan anak generasi Y atau Z mengingat petani? Tidak pernah. Atau pernahkah kepada mereka diberitahu bagaimana perjalanan dari padi ke beras menjadi nasi hingga tiba di piring mereka ketika makan? Mungkin orang tua mereka pun tidak terpikir untuk bercerita tentang hal itu. Jadi, ketika anak-anak memandang seonggok nasi tersisa di piring tanpa rasa bersalah dan perasaan datar, adalah sesuatu yang niscaya.
Betul dunia berubah. Dan perubahan yang sangat cepat itu lebih cepat dari perkiraan kita. Dan rasanya, untuk menebus waktu dan segala romantika yang kita dambakan di masa lalu, tidak memungkinkan. Kita terlalu bergegas karena dipaksa dan terpaksa. Kita melompati tahapan-tahapan dalam hidup agar cita-cita lebih cepat tercapai dan melupakan sebuah proses, yang akhirnya membuat kita menjadi kurang manusiawi. Begitulah kita sekarang ini dan kita tidak sempat menyesalinya karena terus diburu waktu.
Lantas hadirlah buku Cita-Cita Titik Dua Petani di tangan saya. Penulisnya, Kanti W Janis, seperti ingin menebus waktu yang belum dialaminya. Dia menyajikan buku itu ke meja makan para pembacanya. Termasuk saya.
Judul Titik Dua dalam buku ditulis italic alias miring. Apa artinya? Penulis menjawab, dulu kita sering diminta menulis identitas dengan cara, nama titik dua, cita-cita titik dua. Titik dua yang ditulis dengan tanda baca. Dan tanda seru setelah kata petani, untuk memberi penekanan bahwa cita-cita itu disebut dengan percaya diri tanpa ragu. Barangkali seperti jawaban anak kecil tadi, menjawab: Youtuber!
*
Menerima usulan penulis buku tentang cita-cita menjadi seorang petani, memberi saya sebuah rasa. Dunia ini sedang mendewakan kata digital, youtuber, selegram, vlogger, tiktokers, chef, crazy rich, conten creator. Kata petani seperti jauh di belakang. Judul yang tidak umum untuk sebuah novel fiksi. Tapi saya mendengar Romo Mudji Sutrisno memuji buku itu, menyelesaikan membaca dalam dua hari. Ternyata saya pun, setelah membuka buku halaman pertama, tidak ingin berhenti sampai menyelesaikannya.
Saya hadir di peluncuran buku tersebut beberapa waktu lalu di perpustakaan Baca Di Tebet di Tebet Jakarta. Seorang hadirin bertanya kepada penulis: apakah menulis novel dengan isu petani alias kaum marhaen ini gagasan murni atau hanya kegenitan penulisnya?