Demi Seorang yang Kecil
Artaban terus menekuni perjalanannya melewati padang gurun bergelombang dan suram, di atas punggung untanya, bergerak seperti mengambang di sebuah kapal di tengah samudera.
Tanah kematian menyebarkan jaring durjana ke dalam tubuhnya. Padang pasir yang luas kering tiada pohon atau pohon buah, hanya onak dan tanaman berduri. Bingkai gelap batu karang menusuk di atas permukaan di sini dan di sana, seperti tulang-tulang makhluk monster yang mati merana.
Barisan gunung yang kersang dan tak ramah menghadangnya, berkerenyut bersama saluran-saluran yang sudah ada sejak zaman purba namun kering tak berait, gambaran mengerikan seperti luka gores pada wajah alam.
Bukit-bukit bergerak karena pasir mematikan yang bertumpu seperti sederet kuburan di bawah kaki langit. Pada siang hari, panas yang ganas menggigit hingga tak dapat ditoleransi pada udara yang menggigil; tak satu pun makhluk hidup akan berjalan dalam kedunguan seperti ini, bumi yang nyaris pingsan, celurut kecil terbirit-birit menerobos semak kering, atau cecak-cecak kabur lalu raib di langit-langit batu karang.
Pada malam hari, ancaman segerolombolan serigala mencari mangsa dan lolongnya yang menggetarkan hati, auman singa bergaung dari jurang-jurang dalam dan gelap, sementara udara dingin yang sengit dan membinasakan, setelah demam siang hari. Melewati panas dan dingin yang ekstrem, ia terus berjalan.
Lalu ia melewati taman-taman dan kebun buah-buahan kota Damaskus, yang diairi arus Abana dan Pharpar, dengan lereng tanah berumput yang bertatahkan sekumpulan bunga, dan harum belukar damar dan kembang-kembang mawar. Ia melihat punggung bukit Hermon yang luas dan bersalju, hutan kecil cedar dan lembah Yordan, air Danau Galilea yang biru jernih, tanah subur Esdraelon, bukit-bukit Efraim, dan tanah tinggi Yehuda.
Melalui semua ini Artaban terus bergerak, sampai dia tiba di Betlehem. Itu adalah hari ketiga setelah tiga kawannya tiba dan bertemu Maria dan Yusuf, dan bayi Yesus, dan sudah meletakkan persembahan-persembahan berupa emas dan kemenyan dan mur, di kaki bayi Yesus.
Dan Artaban mendekat, dengan rasa letih, namun penuh harapan, membawa batu merah delima dan mutiara kepada Raja itu. "Akhirnya," katanya. "Aku akan menemuinya, meski sendirian, dan lebih lama dari saudara-saudaraku. Inilah tempat yang dikatakan oleh pelarian orang Ibrani kepadanya, yang sudah dikatakan kepada nabi-nabi, dan di sana ia dapat melihat munculnya cahaya agung. Tetapi ia harus meneliti kunjungan kawan-kawannya, ke rumah mana bintang mengarahkan mereka, dan mempersembahkan persembahan mereka."
Jalan-jalan di desa tampak sunyi dan ditinggalkan. Artaban bertanya-tanya apakah semua laki-laki sudah pergi ke bukit-bukit padang rumput untuk mengangon. Di situ ia melihat satu pintu terbuka, sebuah pondok beratap rendah. Ia mendengar suara halus yang sedang menyanyi dengan suara lembut.
Dia masuk dan melihat seorang ibu muda sedang meninabobokan bayinya. Kepadanya, perempuan muda itu berkata soal tiga orang asing dari Timur yang muncul di desa tiga hari lalu, dan mereka bilang, kedatangan mereka itu karena merkea mengikut petunjuk satu bintang besar di langit, sampai tiba di tempat Yusuf dari Nazaret menginap di pondok kecil, dengan istri dan bayi mereka yang baru lahir, dan mereka membayar biaya penginapan dengan penuh hormat, dan memberikan hadiah yang sangat mahal harganya.