Hannah Arendt (1906-1975) terbang dari New York ke Yerusalem untuk mengikuti pengadilan atas diri Adolf Eichmann (1906-1962).
Arendt adalah pemikir berpengaruh abad 20 yang awalnya berkarir sebagai jurnalis. Eichmann adalah anggota SS dan Nazi yang dijatuhi hukuman gantung atas 15 dakwaan kriminal termasuk kejahatan perang dan kemanusiaan yang mengakibatkan matinya jutaan warga sipil.
Arendt menulis pengamatannya dalam satu esai panjang yang menarik berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963) (bisa dibaca di The New Yorker).
Dalam laporan itu Arendt menulis bahwa Eichmann bukanlah seorang sosiopat atau seorang fanatik. Tindakan (kejahatannya) dimotivasi sepenuhnya untuk kepuasan diri.
Di ruang pengadilan, Eichmann menjawab pertanyaan-pertanyaan dan mengatakan ia tidak bersalah sedikit pun. Pada awal sidang, hakim menyatakan ia tidak bersalah dengan alasan acts of state atau par in parem imperium non habet. Namun sekelompok orang diterbangkan ke Argentina, tempat tinggal Eichmann ketika itu, untuk melakukan investigasi kehidupan pribadi Eichmann.
Remaja Eichmann tidak lulus sekolah menengah, pernah dimasukkan ke asrama YMCA (Young Men Christian Association) oleh ayahnya. Sekolah dan karir membuatnya putus asa. Keluarga dan dunia sekelilingnya menganggap ia seorang yang gagal. Satu-satunya kebanggaannya adalah ketika ia bekerja di satu perusahaan, sebelum kemudian ia bergabung dengan SS. Di sanalah ia ditugaskan untuk memfasilitasi dan mengatur logistik deportasi massal dari ghetto-ghetto dan kamp konsentrasi di Eropa timur.
Saya menulis ini karena tertarik judul tulisan Arendt. Banalitas dalam kejahatan. Apa maksudnya?
Bahwa Eichmann tidak merasa menyesal bukan tanpa sebab. Dengan kata lain Arendt ingin menjelaskan bahwa satu kejahatan besar bukan lahir pada saat itu tetapi telah didahului oleh kejahatan-kejahatan kecil (baca: ketidakjujuran) yang panjang. Dostoeyski, pengarang besar Rusia, dalam diarinya menulis bahwa di kamp konsentrasi Siberia, para pembunuh, pemerkosa, perampok dan pelaku kejahatan lain, tidak pernah mengaku bersalah.
Di negeri ini kita banyak melihat peristiwa kejahatan yang terang benderang namun sulit dibuktikan di pengadilan. Diperlukan jalan panjang yang menghabiskan energi luar biasa untuk membekuk satu kejahatan dan memutuskan perkara.
Sebaliknya, demikian pula kejujuran.
Seorang yang jujur tidak dilahirkan namun telah menampakkan tanda-tandanya sejak kecil. Abraham Lincoln, Presiden pertama Amerika dipanggil dengan sebutan Honest Abe. Abe yang jujur. Dikisahkan, Abe muda pernah bekerja di toko kecil. Bila ia salah hitung, kurang mengembalikan uang orang, dia akan menutup toko, dan mengejar orang itu, untuk mengembalikan uangnya. Kelak, kejujuran, integritas dan sifat imparsial Abe membawanya menjadi hakim dan mediator pada banyak konflik, dan karir legislatifnya terus bertahan selama empat periode berturut-turut.