Suara lagu dari Aceh terdengar nyaring saat pertama kali memasuki Pavilion D Galeri Nasional. Sepintas terdengar kalimat "rakyat sengsara" di antara deretan lirik lagu tersebut.
Pengunjung lalu dihadapkan pada sebuah instalasi permainan yang terdiri dari meja yang terukir seperti permainan halma lengkap dengan satu bidak hitam dan dua puluh lima bidak putih. Itulah permainan "Toekoe Oemar" yang dirilis tahun 1896 oleh perusahaan penerbit Amsterdam.
Melalui instalasi permainan tersebut pengunjung diberikan sebuah kostruksi realita yang dibuat orang Belanda kala itu terhadap sosok Teuku Umar yang digambarkan sebagai penjahat dan penghianat yang harus di tangkap. Instalasi "Toekoe Oemar" ini menjadi salah satu favorit saya dalam acara Instrumenta Sandbox 2018 yang sepi dari publikasi di sosial media.
Tidak ada tagar, akun dan halaman khusus untuk acara ini di sosial media baik di Facebook, Twitter dan Instagram. Walaupun demikian acara seni media dan instalasi ini mendapat pengunjung yang lumayan banyak.
Diperkirakan sekitar 200 orang pengunjung datang saat akhir pekan. Walapun demikian tidak sampai memadati tempat acara di Galeri Nasional. Sehingga pengunjung masih bisa mencoba berbagi instalasi walaupun ada beberapa instalasi dengan antrian.
Salah satu yang paling ramai dikunjungi adalah instalasi Virtual Reality oleh Jess Johnson dan Simon Wad yang berjudul GOG + MAGOG yang memberikan pengalaman memasuki wilayah alam ilusi yang asing, abstrak sekaligus sedikit menakutkan.
Instalasi favorit saya lainnya adalah seni kinetik dari Ryota Kuwakubo yang berjudul Tenth Sentimen. Sebuah karya apik yang menyajikan perjalanan kereta api melalui pergantian bayangan dari peralatan rumah tangga seperti jepitan jemuran, keranjang buah dan deretan kardus yang disusun sepanjang rel kereta api mainan.
Kian maraknya seni instalasi dan media menjadikan seni yang lebih interaktif dan mengajak penikmatnya untuk mencoba pengalaman dengan karya seni tersebut. Kritik sosial yang ditampilkan dalam seni media dan instalasi dibungkus melalui karya-karya elektronik dan digital. Salah satunya adalah instalasi video oleh Hafiz Rancajale yang berjudul Alam: Syuhada.
Video berdurasi Sembilan menit itu menggambarkan seorang pria Indonesia pendatang di Jakarta yang mendambakan calon istri yang solehah sementara dia sendiri punya hobi bermain judi togel dan tidak pernah sholat. Kontras, hipokrit dan naif, itulah kesan yang timbul melalui perwujudan seorang talent berwajah ndeso dengan latar belakang angkot yang sedang berjalan.
Seni kian berkembang mengikuti kemajuan teknologi. Percampuran antara keduanya pun menjadikan seni tidak lagi sekedar karya yang hanya bisa dinikmati para pengagumnya. Seni telah berkembang menjadi wahana interaktif yang bisa menjangkau orang-orang awam yang bukan seniman seperti saya ini untuk ikut menikmatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H