Lihat ke Halaman Asli

Noverita Hapsari

Fun and Fine

[Kiat Menulis] Rasa Malu: Adakah yang Membutuhkannya?

Diperbarui: 1 Oktober 2023   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pribadi


Ada batas terang antara malu dan memalukan. Jika kita telisik sekilas kamus Bahasa Inggris, maka verba/ kata dari shy dan ashamed, cukup bersentuhan maknanya, namun siratannya bahkan dapat saling berlawanan.
Kata 'shy' lebih bersifat netral-positif, seperti:
"You shouldn't be shy", yang bisa diartikan sebagai "Jangan malu-malu".
Sedangkan nuansa negatif atas kata  ashamed sebagai berikut:
"You should be ashamed of yourself!"
bermakna kurang mengenakkan yakni "Seharusnya engkau malu dengan (perbuatan) dirimu".
 
Tidak demikian halnya dengan tanaman perdu liar - si putri malu (Mimosa pudica). Ia menggeneralisasi semua
nawaitu penyentuhnya. Disengaja ataupun tak disengaja, ia akan segera menguncupkan helai-helai daunnya, menutup diri pasca-rangsangan.

Keterikatan 'malu' dan 'memalukan' juga
memiliki keterkebalikan arah: tanpa rasa risih (shy), perilaku seseorang akan mengarah pada satu perihal yang nista (ashamed).

Demikian pula sebaliknya, jika mudah merasa malu (shy), terutama di depan Penciptanya, maka sang insan ini pun jarang-jarang berani membuahkan perilaku yang membuat aib (ashamed) dirinya dan komunitasnya.

Dalam kaitannya dengan dunia kepenulisan, munculnya rasa enggan karena malu hati, acap membayangi bahkan mampu mengelupaskan itikad awal penulis baru.

Di sini, rasa kikuk tersebut justru harus kita abaikan, dan menyubstitusinya dengan pengakumulasian keberanian demi kebenaran.

Kendati lamat-lamat, namun dengan optimisme tanpa henti, calon penulis akan mampu terlepas dari jebakan rasa enggan akibat malu.
Karenanya, hasil tulisan awal sepatutnya kita hargai sebagai suatu trofi atas tekad dan nyali dalam melahirkan karya.

Hingga di ujung jalan inilah kita berpasrah saja, tanpa sikap bias dan ambigu: antara ingin dikerumuni  pembaca atau sekadar menyalurkan hasrat kepenulisan.

Tulisan memang bisa menjadi 'merek' dari penulisnya. Meski demikian, untuk pemula - syukurlah - belum berkewajiban memasuki tahapan mematri daya pukau tersebut.

Garis merahnya adalah bahwa untuk tahap dini, tulisan kita tak perlu tampak 'bagus', yg penting eksistensi kelanjutannya langgeng terus.

Referensi:
Goenawan Mohamad, "Sang Pengarang", Catatan Pinggir, Majalah Tempo, 7 September 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline